3.21.2021

MEREKONSTRUKSI PERGESERAN FOLKLOR “BERINGIT” SUKU REJANG BENGKULU MENJADI WACANA TULIS GUNA MEMBANGUN KARAKTER GENERASI EMAS 2045

MEREKONSTRUKSI PERGESERAN FOLKLOR  “BERINGIT” SUKU REJANG BENGKULU MENJADI WACANA TULIS GUNA MEMBANGUN KARAKTER GENERASI EMAS 2045

 

Ritmha Candra Ariesha, S.Pd

(SMP Negeri 1 Kepahiang)

 

ABSTRACT

This paper was motivated by the existence of literary "Beringit" Rejang Bengkulu tribe which was presented in a regional song. This "Beringit" Literature is an oral culture and passed down from generation to generation. So that with this oral culture, researchers can learn the customs, behavior and patterns of the Rejang tribe in the Kepahiang Regency of Bengkulu Province. In addition, this research is also motivated by a sense of wanting to preserve, develop, maintain, foster traditions that are regional cultures that can enrich national culture. The purpose of this study is to obtain a description of aspects of oral culture or folklore contained in the literary "Beringit" Rejang Bengkulu tribe which includes the background of the creation of regional songs, meanings, and functions contained in the folk songs of the Rejang Bengkulu tribe. From the results of the analysis of this paper, it can be concluded that the "Berititic" Folklor of the Bengkulu Rejang tribe was reconstructed into a written discourse, so that it is known that the literary "Beringit" has character values ​​in the story elements. The results of literary reconstruction "Serious" Bengkulu Rejang tribe is expected to be used as a supplementary teaching material to read literary texts at the junior high school level, especially in Kepahiang District.

 

Keyword         : reconstructing, literary "Beringit", character

 

ABSTRAK

Karya tulis ini dilatarbelakangi oleh keberadaan sastra “Beringit” suku Rejang Bengkulu yang dipaparkan dalam sebuah lagu daerah. Sastra “Beringit” ini merupakan budaya lisan dan diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Sehingga dengan budaya lisan tersebut, peneliti dapat mempelajari adat-istiadat, tata laku dan pola masyarakat suku Rejang yang berada di Kabupaten Kepahiang Propinsi Bengkulu. Selain itu, penelitian ini juga dilatar belakangi adanya rasa ingin melestarikan, mengembangkan, memelihara, membina tradisi yang merupakan kebudayaan daerah yang dapat memperkaya kebudayaan nasional. Tujuan dari penelitian ini untuk memperoleh deskripsi tentang aspek budaya lisan atau folklor yang terkandung dalam sastra “Beringit”suku Rejang Bengkulu yang meliputi latar belakang terciptanya lagu daerah, makna, dan fungsi yang terkandung dalam lagu daerah suku Rejang Bengkulu. Dari hasil analisis karya tulis ini dapat disimpulkan bahwa Folklor “Beringit” Suku Rejang Bengkulu direkonstruksi menjadi wacana tulis, sehingga diketahui bahwa sastra “Beringit” memiliki nilai-nilai karakter dalam unsur cerita. Hasil dari rekonstruksi sastra “Beringit” suku Rejang Bengkulu diharapkan dapat dijadikan sebagai suplemen bahan ajar membaca teks sastra pada jenjang SMP khususnya di Kabupaten Kepahiang.

 

Kata kunci       : merekonstruksi, sastra “Beringit”, karakter

PENDAHULUAN

 

Sebagai orang Indonesia, tiap-tiap orang di daerah tidak harus kehilangan akar budaya aslinya (indi1genous-nya), tetapi masing-masing perlu memperluas pandangan dan sikap budayanya. Kekhasan masing-masing daerah atau suku bangsa dapat menjadi akar bagi perkembangan pribadi setiap perorangan. Dengan akar budaya yang mantap, merupakan jaminan kesinambungan budaya, dan pembangunan watak bangsa juga terjamin serta diharapkan mampu menghadapi perubahan zaman. Strategi budaya dalam pembelajaran kiranya sangat penting dan perlu diarahkan pemberdayaan budaya daerah yang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Pelestarian dan pengembangan budaya daerah khususnya sastra daerah kiranya sangat penting serta mempunyai makna dalam upaya pembentukan jati diri dan watak bangsa.

Setiap budaya daerah dapat menambah eratnya ikatan solidaritas masyarakat yang bersangkutan. Menurut Bascom (dalam jurnal makalah Sutarno) bahwa budaya daerah memiliki empat peranan yaitu: (1) sebagai sistem proyeksi adalah pencerminan angan-angan suatu kolektif; (2) sebagai pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan; (3) sebagai alat pendidikan anak (pedagogical device), dan (4) sebagai alat kontrol agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya. Perkembangan hasil karya seni selalu dipengaruhi oleh fenomena kehidupan masyarakat selaku pendukung kelangsungan suatu kesenian. Suatu kenyataan bahwa bangsa Indonesia terdiri dari beberapa suku bangsa, tentunya memiliki latar belakang sosial-budaya yang beraneka ragam. Keanekaragaman masyarakat tersebut tercermin dalam berbagai aspek kehidupannya, termasuk di dalam hasil karya seninya. Salah satu wujud karya seni yang menjadi bagian kebudayaan, dikenal oleh masyarakat adalah kesenian sastra daerah.

Folklor penduduk suku Rejang dapat dipergunakan untuk merekonstruksi nilai budaya atau pandangan hidup penduduknya. Objek-objek yang dapat dijadikan bahan analisis dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui salah satu bentuk folklor dari suku bangsa atau kolektif bersangkutan. Hal itu disebabkan folklor mengungkapkan secara terselubung (seperti pada dongeng atau cerita rakyat), atau secara gamblang (seperti pada peribahasa).

Generasi muda suku Rejang Bengkulu  semakin sedikit memakai dan melestarikan sastra budaya daerahnya. Hal ini dapat menyebabkan mereka semakin sulit memahami nilai-nilai budaya dan kearifan lokal suku Rejang  yang ada di dalamnya. Hal ini sangat disayangkan karena di dalam sastra lisan Suku Rejang Bengkulu terkandung banyak nilai karakter yang mengajarkan kebaikan, seperti tradisi bercerita benandai atau bersyair berejung dan beringit.

Bila generasi muda sudah tidak lagi memahami budaya daerahnya dan tidak pernah menggunakannya, bukan tidak mungkin sastra lisan (folklor)  itu akan hilang di telan masa. Padahal, sastra lisan dapat menjadi alat kontrol sosial sekaligus alat pemaksa dan pengawas agar norma masyarakat dipatuhi oleh anggotanya (Wijana, 2003: 235).

Berkurangnya kemampuan generasi muda memahami makna dan pesan di dalam sastra lisan menjadi salah satu tanda bergesernya penggunaan sastra. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Mbete (2003) dan Mardikantoro (2007) bahwa bergesernya penggunaan suatu sastra daerah ditandai oleh semakin hilangnya kebiasaan bercerita kepada anak, tidak berfungsinya lembaga tradisional, dan kelemahan generasi muda dalam memahami makna dan pesan yang terkandung di dalam naskah-naskah lama serta ungkapan-ungkapan pada sastra itu.

Merevolusi folklor sebagai bahan apersepsi menjadi alternatif para orang tua ataupun guru dalam pengembangan tradisi lisan (Folklor). Pembiasan suatu cerita dan tradisi yang turun-temurun inilah yang menjadikan folklor dapat digunakan sebagai bahan untuk apersespi pengembangan nilai-nilai karakter pada generasi muda yang saat ini lsudah meninggalkan kontek budaya daerah atau tradisi lisan. Cerita-cerita, tradisi, legenda, dan mitos menjadi bahan tersendiri yang tumbuh secara alami di generasi muda. Tentunya sebuah folklor diciptakan bukan tanpa tujuan, melainkan sebagai bentuk pemahaman karakter pada kearifan lokal daerah tertentu.

Folklor yang menjadi dasar kearifan lokal suatu daerah mampu menjawab dan mengubah masyarakat dengan penanaman karakter di dalamnya.  Dari sekian cerita yang berasal dari lagu daerah suku Rejang yang didapatkan dari hasil observasi dan wawancara penulis tentu tidak serta merta didokumentasikan menjadi tradisi lisan yang bermuatan karakter, tetapi diseleksi terlebih dahulu cerita mana yang sesuai dengan perkembangan psikologis anak usia 13—16 tahun. Dengan demikian, anak dapat belajar dari apa yang telah mereka baca. Tentu secara tidak langsung hal ini akan berpengaruh pada karakter mereka nantinya. Sebab psikologi anak usia 13—16 tahun adalah umur yang memorinya digunakan untuk mengingat dan mengaplikasikan sesuatu yang ia lihat, rasakan, dan dengar.

Nilai karakter adalah proses pemberian tuntunan kepada anak untuk menjadi manusia seutuhnya, yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa. Nilai karakter dapat dimaknai dengan pendidikan nilai, budi pekerti, moral, watak, yang bertujuan untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Dengan demikian, nilai karakter bagi anak memang sangat dibutuhkan sebagai bekal anak untuk membentuk kepribadian mereka menjadi lebih baik.

 

 

PEMBAHASAN

Ditemukan empat temuan sastra “beringit” berupa folklor lisan yang meliputi mite, legenda, dan dongeng yang digunakan sebagai penguat pendidikan karakter. Keempat judul cerita tersebut adalah Sang Segan dan Buteu Tekeuyung Pemilihan cerita-cerita tersebut didasarkan atas jalan cerita yang sesuai untuk anak dan muatan moral yang dapat dijadikan nilai karakter untuk anak. Selanjutnya, cerita yang telah dinilai dapat memberikan pendidikan karakter bagi anak segera didokumentasikan. Tahap pertama dari data mentah yang didapatkan adalah dengan membuat sinopsis terlebih dahulu dari hasil rekaman yang didapat. Sinopsis yang dibuat adalah garis besar isi cerita mulai dari bagaimana dan seperti apa tahap pengenalan, permasalahan, dan penyelesaian ceritanya. Setelah itu, dari sinopsis tersebut barulah dikemas dengan penambahan nilai-nilai moral untuk mewujudkan wacana tulis yang memuat pendidikan karakter generasi muda.

Latar belakang folklor suku Rejang Bengkulu mayoritas tercipta karena adanya sastra “Beringit.  Beringit adalah semacam keluhan-keluhan seseorang saat dia mengalami kesulitan, permasalahan, cobaan, konflik, sampai pada kesenangan pun dilantunkan seperti layaknya sebuah syair.

Tradisi lisan yang pertama adalah cerita rakyat yang didasari adanyasastra “Beringit”yang berjudul Sang Segan. Pada sastra “Beringit” Sang Segan, yang melatar belakangi terciptanya sastra ini adalah karena adanya cerita rakyat tentang seorang lelaki yang sangat malas dengan burung peliharaannya, yakni Burung Kuaw. Burung Kuaw dianggap oleh suku Rejang menjadi burung keramat. Burung Kuaw jenisnya sama seperti burung Kakak Tua, dan juga dapat berbicara. Lelaki ini dipanggil dengan sang segan karena segan (enggan) melakukan apa-apa. Karena begitu malasnya lelaki ini, membuka mata saja dia malas. Burung Kuaw ini jengkel kepada sang lelaki karena tidak jga dipelihara dengan baik. Sampai suatu hari burung Kuaw bernyanyi:

uh... sang segan

mato ado, meliak segan

uh... sang segan

Telinga aoa, mendengar idak

uh... sang segan

ado mulut, miling coa

uh... sang segan

tolonglah sembelih aku

 

Karena begitu jengkelnya burung Kuaw terhadap majikannya yang sangat malas, burung itupun bernyanyi agar sang majikan merasa terganggu dan mau melakukan apa yang dikatakan oleh sang burung. Sampai pada akhirnya burung Kuaw memberi majikannya pengertian tentang artinya bekerja dan tidak malas.

Nilai-nilai karakter yang dimiliki cerita Sang Segan pada masa sekarang ini pun dipakai oleh masyarakat suku Rejang Bengkulu sebagai bahasa sindiran pada seseorang yang sangat malas. Seperti pada ibu kepada anaknya yang malas belajar atau mengerjakan sesuatu yang diperintahkan oleh orang tuanya. Nilai yang dapat dijadikan pelajaran dalam cerita ini adalah (1) hidup di dunia harus selalu berusaha dan bekerja keras, (2) menjadi manusia harus bertanggung jawab, dan (3) tidak boleh patah semangat serta harus terus berbuat baik serta bijak kepada siapapun.

Folklor kedua adalah berjudul Betue Tekuyung. Latar belakang terciptanya sastra “Beringit” ini karena adanya cerita legenda masyarakat Rejang tentang gundukan batu yang dipercaya telah menewaskan sebuah keluarga. Cerita rakyat ini bermula dari seorang anak yang tidak diberi makan oleh orang tuanya. Karena kedua orang tuanya sedang jatuh miskin dan sedang berusaha mendapatkan makanan dari hasil panen mereka yang tidak kunjung menuai. Sampai akhirnya sang anak meringit karena lapar. Meratapi nasibnya karena dia menganggap tidak diperdulikan oleh kedua orang tuanya. Sang anak meratapi di gundukan batu tinggi. Yang lama kelamaan batu tersebut makin tinggi dan batu tersebut jatuh menimpa seluruh keluarganya.

Alkisah pada sebuah hutan di daerah Rejang, terdapat sebuah keluarga yang membuka lahan pertanian. Sudah beberapa hari sang anak selalu datang kepada orang tuanya di sawah, karena rasa lapar dan meminta makan pada orang tuanya. Akan tetapi, orang tua selalu menyuruh anaknya untuk bersabar menunggu hingga panen datang. Beberapa hari kemudian seperti itu terus jawaban orang tua tersebut. Sampai pada suatu hari saking laparnya, sang anak pun membawa sang adik yang menangis terus sambil meminang-minang ke atas bukit. Sang kakak melihat batu gundukan yang bergoyang-goyang sambil bersyair “beringit”

Lekat-lekat buteu tekuyung

Inok ngen bapak coa lak melie mie nasi

Lekat-lekat buteu tekuyung

Inok ngen bapak coa lak melie mie nasi

Lekat-lekat buteu tekuyung

Inok ngen bapak coa lak melie idup

Celegum...

 

Nilai yang dapat dijadikan pendidikan karakter dalam cerita ini adalah (1) tidak boleh serakah, (2) menghargai setiap pertolongan yang diberikan oleh orang lain, dan (3) kita harus menghormati dan menyayangi kedua orangtua.

Selain mengandung hiburan, dan nilai-nilai moral kemanusiaan, cerita Bali tersebut juga mengedepankan contohcontoh perilaku baik dan buruk agar dapat dicerna oleh anak sehingga nantinya dapat dipakai sebagai suatu pijakan dalam melangkah menapaki hidup.Pendidikan karakter berbasis folklor suku Rejang Bengkulu dalam pembelajaran cerita rakyat memiliki peranan yang sangat penting dalam membangun pribadi insan Indonesia yang cerdas dan berakhlak mulia. Pada era globalisasi ini, pendidikan karakter tidak sekadar sebagai pedoman dalam berperilaku, tetapi sebagai acuan untuk menguasai IPTEKS dengan sikap dan pola tingkah laku sesuai dengan kaidah dan falsafah hidup bangsa serta kebudayaan Indonesia.

SIMPULAN

Mengacu pada nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung pada folklor sastra “Beringit” tersebut di atas, folklor suku Rejang merupakan alat yang penting dalam menyampaikan ide, rasa, nilai, pengetahuan, adat, kebiasaan yang ada dalam lingkungan masyarakat Rejang Bengkulu.

Kearifan lokal sebagai sumber untuk menanamkan pendidikan karakter dapat jauh lebih memiliki manfaat. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya pengangkatan kearifan lokal sebagai penerapan pendidikan karakter, maka secara tidak langsung juga akan turut membantu melestarikan folklor lisan yang terdapat di wilayah-wilayah tertentu yang dijadikan lokasi pengambilan data. Kedua, penanaman pendidikan karakter yang merupakan cikal bakal seorang anak menjadi pribadi yang lebih baik dapat dibentuk dengan cerita-cerita yang berkembang di masyarakat.

Dari folklor lisan yang terdapat di tengah masyarakat, tentu tidak semuanya dapat dituturkan kepada anak direkonstruksi menjadi wacana tulis. Orangtua harus pandai memilah dan memilih cerita mana yang seharusnya dituturkan. Hal tersebut tentu dapat didasarkan atas muatan nilai moral yang terdapat di dalamnya.

 

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsini. 1992. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Renika Cipta.

Abdullah, Irwan. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Dananjaya, James. 1994. Folklor Indonesia. Jakarta: Rienneka Cipta

Endraswara, Suwardi.2006. Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan (Ideologi, Epistemologi, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyagama

Khisbiyah, Yayah dkk. 2004. Pendidikan Apresiasi Seni Wacana dan Praktik untuk Toleransi Pluralisme Budaya. Surakarta: Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta (PSB-PS-UMS)

Koentjaraningrat. 1992. Kebudayaan Mentalis dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia

Koentjaraningrat. 1988. Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Djambatan

Maryaeni, 2005. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta:Bumi Aksara

Moleong, Lexy J. 1991. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.

 

Mulyono, Deddi dan Rakhmat, Jalaluddin.2003. Komunikasi Antarbudaya, panduan berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

 

Munandar Soelaeman. 1992. Ilmu Budaya Dasar Suatu Pengantar. Bandung: PT. Eresco

Mustopo, Habib.M. 1988. Ilmu Budaya Dasar (Kumpulan Essay – Manusia dan Budaya). Surabaya: Usaha Nasional.

Panuju, Redi.1994. Ilmu Budaya Dasar dan Kebudayaan. Jakarta: Gramedia

Poerwadarminta. 1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Pudentia. 1988. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan.

Purwadi. 2006. Kearifan Lokal Bahasa dan Sastra Jawa dalam Rangka Kehidupan Berbangsa yang Berbhineka Tunggal Ika (Makalah Kongres Bahasa Jawa IV). Semarang.

Rendra. 1994. Mempertimbangkan Tradisi. Jakarta: PT. Gramedia

Setiyanto, Agus. 2006. Orang-Orang Besar Bengkulu. Yogyakarta: Ombak

Soetarno. 2006. Model Pembelajaran Multikultural Bahasa dan Sastra Jawa (Makalah Kongres Bahasa Jawa IV). Semarang.

Sutarto, Ayu. 2006. Kearifan Lokal, Kebhinekaan, dan Rekonsiliasi Nasional (Makalah Kongres Bahasa Jawa IV). Semarang.

Widagdho, Djoko. 1991. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

3.20.2021

Balada Sumilah (Naskah Adaptasi Puisi WS Rendra)

Pementasan bertajuk Temu Karya Teater Bengkulu.. di taman Budaya Bengkulu siang tdi..
Ruang Rupa Metamorfosa  membawakan naskah Balada Sumilah..

Dikarenakan sesuatu hal dan kondisi yg tiba2 tdk memungkinkan pemeran utama Sumilah tdk dapat mengikuti pementasan.. sehingga tim metmo terpaksa berpikir keras utk membuat konsep baru dalam waktu semalam..

Alhamdulillah.. meskipun tidak maksimal.. kami bangga dapat satu panggung dgn rekan2 teater se-provinsi bengkulu..

Tabik Dewan Kesenian Adhyra Pratama Irianto Rahma Diana Teater Jengkal teater senyawa yang sangat apresiatif thd dunia teater Bengkulu yang masih.. yaaa begitulah.. 

Good job Rizal Iteng Rasja Muhfi Miftahul Fikri Gunzalest Junior Ichie Dessu  RitmaCandra Metamorfosa 
Thanks to couple.. Robeson Saputra Neki Citra Utami NH.. the bestt pokok e

Penyaji Terbaik Ruang Rupa Metamorfosa Kepahiang dalam Pekan Kebudayaan Daerah Kota Bengkulu

Event Pekan Kebudayaan Daerah Kita Bengkulu yang diadakan oleh Dewan Kesenian Kota Bengkulu, merangkul sejumlah karya seni dari beberapa kabupaten di Provinsi Bengkulu.
Komunitas seni dan budaya Ruang Rupa Metamorfosa unjuk karya dengan menyajikan tari dan musik bertajuk Sauk Seluang.

 Komunitas Ruang Rupa Metamorfosa yang digawangi oleh Ritma Candra selaku pembina, mengusung ide cerita dan garapan tari dari Rahma Novita Sari serta garapan musik karya Veggy Sevriando.

Menyabet penyaji terbaik 1 menjadi kebanggaan kabupaten Kepahiang untuk Metamorfosa untuk lebih berkarya seni dan budaya lebih baik lagi.

Terimakasih kepada para pendukung dan doa yang dipanjatkan untuk kami.. 

Salam budaya

PELIMA CERIA KUJANG

Di kelas, saya menghadapi peserta didik kelas tujuh yang tidak semangat dalam pembelajaran materi menulis dan menceritakan kembali cerita. K...