MEREKONSTRUKSI PERGESERAN FOLKLOR “BERINGIT” SUKU REJANG BENGKULU MENJADI WACANA
TULIS GUNA MEMBANGUN KARAKTER GENERASI EMAS 2045
Ritmha Candra Ariesha, S.Pd
(SMP Negeri 1 Kepahiang)
ABSTRACT
This paper was motivated by the
existence of literary "Beringit" Rejang Bengkulu tribe which was
presented in a regional song. This "Beringit" Literature is an oral
culture and passed down from generation to generation. So that with this oral
culture, researchers can learn the customs, behavior and patterns of the Rejang
tribe in the Kepahiang Regency of Bengkulu Province. In addition, this research
is also motivated by a sense of wanting to preserve, develop, maintain, foster
traditions that are regional cultures that can enrich national culture. The
purpose of this study is to obtain a description of aspects of oral culture or
folklore contained in the literary "Beringit" Rejang Bengkulu tribe
which includes the background of the creation of regional songs, meanings, and
functions contained in the folk songs of the Rejang Bengkulu tribe. From the
results of the analysis of this paper, it can be concluded that the
"Berititic" Folklor of the Bengkulu Rejang tribe was reconstructed
into a written discourse, so that it is known that the literary "Beringit"
has character values in the story elements. The results of literary
reconstruction "Serious" Bengkulu Rejang tribe is expected to be used
as a supplementary teaching material to read literary texts at the junior high
school level, especially in Kepahiang District.
Keyword : reconstructing, literary
"Beringit", character
ABSTRAK
Karya tulis ini
dilatarbelakangi oleh keberadaan sastra “Beringit” suku Rejang Bengkulu
yang
dipaparkan dalam sebuah lagu daerah. Sastra “Beringit” ini merupakan budaya lisan
dan diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Sehingga dengan
budaya lisan tersebut, peneliti dapat mempelajari adat-istiadat, tata laku dan
pola masyarakat suku Rejang yang berada di Kabupaten Kepahiang Propinsi
Bengkulu. Selain itu, penelitian ini juga dilatar belakangi adanya rasa ingin
melestarikan, mengembangkan, memelihara, membina tradisi yang merupakan
kebudayaan daerah yang dapat memperkaya kebudayaan nasional. Tujuan dari
penelitian ini untuk memperoleh deskripsi tentang aspek budaya lisan atau folklor
yang terkandung dalam sastra “Beringit”suku Rejang Bengkulu
yang meliputi latar belakang terciptanya lagu daerah, makna, dan fungsi yang
terkandung dalam lagu daerah suku Rejang Bengkulu. Dari hasil analisis karya tulis ini dapat
disimpulkan bahwa Folklor “Beringit” Suku Rejang Bengkulu direkonstruksi menjadi wacana tulis, sehingga
diketahui bahwa sastra “Beringit”
memiliki nilai-nilai karakter dalam unsur cerita. Hasil dari rekonstruksi sastra “Beringit” suku Rejang Bengkulu diharapkan
dapat dijadikan sebagai suplemen bahan ajar membaca teks sastra pada jenjang
SMP khususnya di Kabupaten Kepahiang.
Kata kunci : merekonstruksi, sastra “Beringit”,
karakter
PENDAHULUAN
Sebagai
orang Indonesia, tiap-tiap orang di daerah tidak harus kehilangan akar budaya
aslinya (indi1genous-nya), tetapi masing-masing perlu memperluas
pandangan dan sikap budayanya. Kekhasan masing-masing daerah atau suku bangsa dapat menjadi akar bagi
perkembangan pribadi setiap perorangan. Dengan akar budaya yang mantap,
merupakan jaminan kesinambungan budaya, dan pembangunan watak bangsa juga
terjamin serta diharapkan mampu menghadapi perubahan zaman. Strategi budaya
dalam pembelajaran kiranya sangat penting dan perlu diarahkan pemberdayaan
budaya daerah yang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Pelestarian dan
pengembangan budaya daerah khususnya sastra daerah kiranya
sangat penting serta mempunyai makna dalam upaya pembentukan jati diri dan
watak bangsa.
Setiap
budaya daerah dapat menambah eratnya ikatan solidaritas masyarakat yang bersangkutan.
Menurut Bascom (dalam jurnal makalah Sutarno) bahwa
budaya daerah memiliki empat peranan yaitu: (1) sebagai sistem proyeksi adalah
pencerminan angan-angan suatu kolektif; (2) sebagai pengesahan pranata-pranata
dan lembaga-lembaga kebudayaan; (3) sebagai alat pendidikan anak (pedagogical
device), dan (4) sebagai alat kontrol agar norma-norma masyarakat akan
selalu dipatuhi anggota kolektifnya. Perkembangan hasil karya seni selalu
dipengaruhi oleh fenomena kehidupan masyarakat selaku pendukung kelangsungan
suatu kesenian. Suatu kenyataan bahwa bangsa Indonesia terdiri dari beberapa
suku bangsa, tentunya memiliki latar belakang sosial-budaya yang beraneka
ragam. Keanekaragaman masyarakat tersebut tercermin dalam berbagai aspek
kehidupannya, termasuk di dalam hasil karya seninya. Salah satu wujud karya
seni yang menjadi bagian kebudayaan, dikenal oleh masyarakat adalah kesenian sastra daerah.
Folklor
penduduk suku Rejang dapat dipergunakan untuk merekonstruksi nilai budaya atau
pandangan hidup penduduknya. Objek-objek yang dapat dijadikan bahan analisis
dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui salah satu bentuk folklor dari
suku bangsa atau kolektif bersangkutan. Hal itu disebabkan folklor
mengungkapkan secara terselubung (seperti pada dongeng atau cerita rakyat),
atau secara gamblang (seperti pada peribahasa).
Generasi muda suku Rejang Bengkulu
semakin sedikit memakai dan melestarikan sastra budaya daerahnya. Hal
ini dapat menyebabkan mereka
semakin sulit memahami nilai-nilai budaya dan kearifan lokal suku Rejang
yang ada di dalamnya. Hal ini sangat disayangkan karena di dalam sastra lisan Suku Rejang Bengkulu terkandung banyak nilai
karakter yang mengajarkan kebaikan, seperti tradisi bercerita benandai atau bersyair berejung
dan beringit.
Bila generasi muda sudah tidak lagi memahami budaya daerahnya dan tidak
pernah menggunakannya, bukan tidak mungkin sastra lisan (folklor) itu akan hilang di telan masa. Padahal, sastra
lisan dapat menjadi alat kontrol sosial sekaligus alat pemaksa dan pengawas agar
norma masyarakat dipatuhi oleh anggotanya (Wijana, 2003: 235).
Berkurangnya kemampuan generasi muda memahami makna dan pesan di dalam
sastra lisan menjadi salah satu tanda bergesernya penggunaan sastra. Hal ini sebagaimana
dikemukakan oleh Mbete (2003) dan Mardikantoro (2007) bahwa bergesernya
penggunaan suatu sastra daerah ditandai oleh semakin hilangnya kebiasaan bercerita
kepada anak, tidak berfungsinya lembaga tradisional, dan kelemahan generasi
muda dalam memahami makna dan pesan yang terkandung di dalam naskah-naskah lama
serta ungkapan-ungkapan pada sastra itu.
Merevolusi
folklor sebagai bahan apersepsi
menjadi alternatif para orang tua ataupun guru dalam pengembangan tradisi lisan
(Folklor). Pembiasan suatu cerita dan tradisi yang turun-temurun inilah yang
menjadikan folklor dapat digunakan sebagai bahan untuk apersespi pengembangan
nilai-nilai karakter pada generasi muda yang saat ini lsudah meninggalkan
kontek budaya daerah atau tradisi lisan. Cerita-cerita, tradisi, legenda, dan
mitos menjadi bahan tersendiri yang tumbuh secara alami di generasi muda.
Tentunya sebuah folklor diciptakan bukan tanpa tujuan, melainkan sebagai bentuk
pemahaman karakter pada kearifan lokal daerah tertentu.
Folklor yang
menjadi dasar kearifan lokal suatu daerah mampu menjawab dan mengubah
masyarakat dengan penanaman karakter di dalamnya. Dari sekian cerita yang berasal dari lagu
daerah suku Rejang yang didapatkan dari hasil observasi dan wawancara penulis
tentu tidak serta merta didokumentasikan menjadi tradisi lisan yang bermuatan
karakter, tetapi diseleksi terlebih dahulu cerita mana yang sesuai dengan
perkembangan psikologis anak usia 13—16 tahun. Dengan demikian, anak dapat
belajar dari apa yang telah mereka baca. Tentu secara tidak langsung hal ini
akan berpengaruh pada karakter mereka nantinya. Sebab psikologi anak usia 13—16
tahun adalah umur yang memorinya digunakan untuk mengingat dan mengaplikasikan
sesuatu yang ia lihat, rasakan, dan dengar.
Nilai karakter
adalah proses pemberian tuntunan kepada anak untuk menjadi manusia seutuhnya,
yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa. Nilai karakter
dapat dimaknai dengan pendidikan nilai, budi pekerti, moral, watak, yang
bertujuan untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan
mewujudkan kebaikan dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Dengan
demikian, nilai karakter bagi anak memang sangat dibutuhkan sebagai bekal anak
untuk membentuk kepribadian mereka menjadi lebih baik.
PEMBAHASAN
Ditemukan
empat temuan sastra “beringit”
berupa folklor lisan yang meliputi mite, legenda, dan dongeng yang digunakan
sebagai penguat pendidikan karakter. Keempat judul cerita tersebut adalah Sang Segan dan Buteu Tekeuyung Pemilihan
cerita-cerita tersebut didasarkan atas jalan cerita yang sesuai untuk anak dan
muatan moral yang dapat dijadikan nilai karakter untuk anak. Selanjutnya,
cerita yang telah dinilai dapat memberikan pendidikan karakter bagi anak segera
didokumentasikan. Tahap pertama dari data mentah yang didapatkan adalah dengan
membuat sinopsis terlebih dahulu dari hasil rekaman yang didapat. Sinopsis yang
dibuat adalah garis besar isi cerita mulai dari bagaimana dan seperti apa tahap
pengenalan, permasalahan, dan penyelesaian ceritanya. Setelah itu, dari
sinopsis tersebut barulah dikemas dengan penambahan nilai-nilai moral untuk
mewujudkan wacana tulis yang memuat
pendidikan karakter generasi muda.
Latar belakang
folklor suku Rejang Bengkulu
mayoritas tercipta karena adanya sastra
“Beringit. Beringit
adalah semacam keluhan-keluhan seseorang saat dia mengalami kesulitan,
permasalahan, cobaan, konflik, sampai pada kesenangan pun dilantunkan seperti
layaknya sebuah syair.
Tradisi lisan yang pertama adalah cerita
rakyat yang didasari adanyasastra “Beringit”yang berjudul Sang Segan. Pada sastra “Beringit” Sang
Segan, yang melatar belakangi terciptanya sastra ini adalah karena adanya cerita rakyat tentang
seorang lelaki yang sangat malas dengan burung peliharaannya, yakni Burung
Kuaw. Burung Kuaw dianggap oleh suku Rejang menjadi burung keramat. Burung Kuaw
jenisnya sama seperti burung Kakak Tua, dan juga dapat berbicara. Lelaki ini dipanggil dengan sang segan karena
segan (enggan) melakukan apa-apa. Karena begitu malasnya lelaki ini, membuka
mata saja dia malas. Burung Kuaw ini jengkel kepada sang lelaki karena tidak
jga dipelihara dengan baik. Sampai suatu hari burung Kuaw bernyanyi:
uh... sang segan
mato
ado, meliak segan
uh... sang segan
Telinga aoa,
mendengar idak
uh... sang segan
ado mulut,
miling coa
uh... sang segan
tolonglah
sembelih aku
Karena begitu jengkelnya burung Kuaw terhadap majikannya yang sangat
malas, burung itupun bernyanyi agar sang majikan merasa terganggu dan mau
melakukan apa yang dikatakan oleh sang
burung. Sampai pada akhirnya burung Kuaw memberi majikannya pengertian tentang
artinya bekerja dan tidak malas.
Nilai-nilai
karakter yang dimiliki cerita
Sang Segan pada masa sekarang ini pun dipakai oleh masyarakat suku
Rejang Bengkulu sebagai bahasa sindiran pada seseorang yang sangat malas.
Seperti pada ibu kepada anaknya yang malas belajar atau mengerjakan sesuatu
yang diperintahkan oleh orang tuanya. Nilai yang dapat dijadikan pelajaran
dalam cerita ini adalah (1) hidup di dunia harus selalu berusaha dan bekerja
keras, (2) menjadi manusia harus bertanggung jawab, dan (3) tidak boleh patah
semangat serta harus terus berbuat baik serta bijak kepada siapapun.
Folklor kedua adalah
berjudul Betue Tekuyung. Latar belakang terciptanya sastra “Beringit” ini karena
adanya cerita legenda masyarakat Rejang tentang gundukan batu yang dipercaya
telah menewaskan sebuah keluarga. Cerita rakyat ini bermula dari seorang anak
yang tidak diberi makan oleh orang tuanya. Karena kedua orang tuanya sedang
jatuh miskin dan sedang berusaha mendapatkan makanan dari hasil panen mereka
yang tidak kunjung menuai. Sampai akhirnya sang anak meringit karena lapar. Meratapi nasibnya karena dia menganggap
tidak diperdulikan oleh kedua orang tuanya. Sang anak meratapi di gundukan batu
tinggi. Yang lama kelamaan batu tersebut makin tinggi dan batu tersebut jatuh
menimpa seluruh keluarganya.
Alkisah pada sebuah hutan di daerah Rejang,
terdapat sebuah keluarga yang membuka lahan pertanian. Sudah beberapa hari sang
anak selalu datang kepada orang tuanya di sawah, karena rasa lapar dan meminta
makan pada orang tuanya. Akan tetapi, orang tua selalu menyuruh anaknya untuk
bersabar menunggu hingga panen datang. Beberapa hari kemudian seperti itu terus
jawaban orang tua tersebut. Sampai pada suatu hari saking laparnya, sang anak
pun membawa sang adik yang menangis terus sambil meminang-minang ke atas bukit.
Sang kakak melihat batu gundukan yang bergoyang-goyang sambil bersyair
“beringit”
Lekat-lekat buteu tekuyung
Inok ngen bapak coa lak
melie mie nasi
Lekat-lekat buteu tekuyung
Inok ngen bapak coa lak
melie mie nasi
Lekat-lekat buteu tekuyung
Inok ngen bapak coa lak
melie idup
Celegum...
Nilai yang
dapat dijadikan pendidikan karakter dalam cerita ini adalah (1) tidak boleh
serakah, (2) menghargai setiap pertolongan yang diberikan oleh orang lain, dan
(3) kita harus menghormati dan menyayangi kedua orangtua.
Selain
mengandung hiburan, dan nilai-nilai moral kemanusiaan, cerita Bali tersebut
juga mengedepankan contohcontoh perilaku baik dan buruk agar dapat dicerna oleh
anak sehingga nantinya dapat dipakai sebagai suatu pijakan dalam melangkah
menapaki hidup.Pendidikan karakter berbasis folklor suku Rejang Bengkulu dalam
pembelajaran cerita rakyat memiliki peranan yang sangat penting dalam membangun
pribadi insan Indonesia yang cerdas dan berakhlak mulia. Pada era globalisasi
ini, pendidikan karakter tidak sekadar sebagai pedoman dalam berperilaku,
tetapi sebagai acuan untuk menguasai IPTEKS dengan sikap dan pola tingkah laku
sesuai dengan kaidah dan falsafah hidup bangsa serta kebudayaan Indonesia.
SIMPULAN
Mengacu pada
nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung pada folklor sastra
“Beringit” tersebut di atas, folklor suku Rejang merupakan alat yang
penting dalam menyampaikan ide, rasa, nilai, pengetahuan, adat, kebiasaan yang
ada dalam lingkungan masyarakat Rejang Bengkulu.
Kearifan lokal
sebagai sumber untuk menanamkan pendidikan karakter dapat jauh lebih memiliki
manfaat. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya pengangkatan kearifan lokal
sebagai penerapan pendidikan karakter, maka secara tidak langsung juga akan
turut membantu melestarikan folklor lisan yang terdapat di wilayah-wilayah
tertentu yang dijadikan lokasi pengambilan data. Kedua, penanaman pendidikan
karakter yang merupakan cikal bakal seorang anak menjadi pribadi yang lebih
baik dapat dibentuk dengan cerita-cerita yang berkembang di masyarakat.
Dari folklor
lisan yang terdapat di tengah
masyarakat, tentu tidak semuanya dapat dituturkan kepada anak direkonstruksi menjadi wacana tulis.
Orangtua harus pandai memilah dan memilih cerita mana yang seharusnya
dituturkan. Hal tersebut tentu dapat didasarkan atas muatan nilai moral yang
terdapat di dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsini. 1992. Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Renika Cipta.
Abdullah, Irwan. 2006. Konstruksi dan
Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Dananjaya, James. 1994. Folklor
Indonesia. Jakarta: Rienneka Cipta
Endraswara, Suwardi.2006. Metode,
Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan (Ideologi, Epistemologi, dan Aplikasi. Yogyakarta:
Pustaka Widyagama
Khisbiyah, Yayah dkk. 2004. Pendidikan
Apresiasi Seni Wacana dan Praktik untuk Toleransi Pluralisme Budaya. Surakarta:
Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta
(PSB-PS-UMS)
Koentjaraningrat. 1992. Kebudayaan Mentalis
dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia
Koentjaraningrat. 1988. Manusia dan
Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Djambatan
Maryaeni, 2005. Metode Penelitian
Kebudayaan. Jakarta:Bumi Aksara
Moleong, Lexy J. 1991. Metode Penelitian
Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Mulyono, Deddi dan Rakhmat, Jalaluddin.2003.
Komunikasi Antarbudaya, panduan berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Munandar Soelaeman. 1992. Ilmu Budaya
Dasar Suatu Pengantar.
Mustopo,
Habib.M. 1988. Ilmu Budaya Dasar
(Kumpulan Essay – Manusia dan Budaya). Surabaya: Usaha Nasional.
Panuju, Redi.1994. Ilmu Budaya Dasar
dan Kebudayaan. Jakarta: Gramedia
Poerwadarminta. 1984. Kamus Umum Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Pudentia. 1988. Metodologi Kajian
Tradisi Lisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi
Lisan.
Purwadi. 2006. Kearifan Lokal Bahasa
dan Sastra Jawa dalam Rangka Kehidupan Berbangsa yang Berbhineka Tunggal Ika
(Makalah Kongres Bahasa Jawa IV). Semarang.
Rendra. 1994. Mempertimbangkan Tradisi.
Jakarta: PT. Gramedia
Setiyanto, Agus. 2006. Orang-Orang
Besar Bengkulu. Yogyakarta: Ombak
Soetarno. 2006. Model Pembelajaran
Multikultural Bahasa dan Sastra Jawa (Makalah Kongres Bahasa Jawa IV). Semarang.
Sutarto, Ayu. 2006. Kearifan Lokal,
Kebhinekaan, dan Rekonsiliasi Nasional (Makalah Kongres Bahasa Jawa IV). Semarang.
Widagdho, Djoko. 1991. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara