8.03.2022

CERITA RAKYAT MASYARAKAT KEPAHIANG PROVINSI BENGKULU


MULO JIJEI PULOGETO
(Diceritakan kembali oleh RITMA CANDRA)



Hidup lebih dekat dengan misteri

Daripada keajaiban

Satu pandang mengiris hati

Lain tatap, keberkatan

Satu arah luas asri

Lain arah, kebinasaan

Satu lembah menghidupi

Lain lembah, pertanyaan

 

-Kisah Jejei Pulogeto-



Alkisah, di suatu desa bernama Kutei Tete, hiduplah 2 bersaudara. Sang kakak telah menikah, tetapi belum juga memiliki anak. Sedangkan sang adik juga sudah menikah. Bedanya, sang adik telah memiliki anak.

            Pada suatu waktu, sang adik mengadakan suatu hajatan yaitu Berkejei. Berkejei adalah hajatan besar, mewah, dan ramai. Atau bisa juga disebut hajatan besar-besaran pada masa itu. Sang kakak memerhatikan sekelilingnya. Rata-rata orang yang telah menikah di sana, setidaknya memiliki satu  anak. Betapa sedihnya hati sang kakak melihat para anak-anak berlarian bersama, nampak salah satu dari mereka adalah anak adiknya. Sang kakak ingin sekali memiliki anak juga.

            Sang kakak pun menghampiri suaminya dengan raut kecewa.

“Ai ite belek mai talang bae e,” (ai kita pulang ke kebun sajalah) ujar sang kakak pada suaminya. Ia sangat sedih, melihat sang adik membuat acara besar-besaran,  tetapi dirinya sendiri malah tidak bisa menikmatinya karena iri.

            Berangkatlah sepasang suami istri itu ke kebun milik mereka. Kebun itu telah mereka rawat sejak lama. Kebun itu sungguh bersih, di sekelilingnya banyak ditumbuhi bunga-bunga yang banyak juga macamnya.

            Esok paginya, sang kakak berjalan-jalan di kebun pada bagian yang banyak bunganya. Baru beberapa langkah, matanya menangkap sosok anak kecil berumur kurang lebih 5 tahun.

            “Siapa anak gadis yang cantik ini?” tanyanya dalam hati.

            Ia dan suaminya pun mencari-cari keberadaan orang tua dari gadis kecil itu. Mereka bertanya pada setiap warga di desa, kalau-kalau ada yang kehilangan anaknya. Waktu terus berjalan, tetapi tidak ada sama sekali yang merasa kehilangan anak.

Berundinglah ia dengan suaminya, dan akhirnya mengangkat gadis kecil itu menjadi anak mereka. Anak itu di berilah nama Smidang, yang kemudian hari nanti menjadi dewa Smidang.

            Waktu berlalu begitu cepat. Smidang kini beranjak dewasa. Ia menikah dengan seseorang dari daerah Kaur yang bernama Panji Ulung. Dari pasangan ini dikaruniai beberapa anak, yaitu Muning Muk, Muning AO, dan Muning Pekak.

            Keturunan-keturunan Muning Pekak ini melahirkan Rajo Mas yang bergelar Madah, Teak madon. Ia beristri sampai 7 orang. Ia sangat kaya, paling kaya di wilayah Bengkulu. Sampai legenda mengatakan, bahwa kubangan lumpur di kebunnya bisa menjadi sebuah hunian masyarakat. Keturunannya pergi ke berbagai wilayah. Salah satunya daerah Ksambe, rejang utara dan lain lain.

            Sampai ada 3 orang dan tidak diketahui lagi keturunan selanjutnya. 3 Muning ini, menjadi asal-usul masyarakat Pulogeto sekarang. Yaitu, Bikeu Smidang, Bikeu Muning Iman, dan Bikeu Macan Tanjung.

            Sedangkan asal mula nama Pulogeto sendiri yaitu dimulai dari nama Kutei Tete di muara air ka. Dari tanjung tinggi, dalam cerita dikatakan bahwa seseorang  menemukan keid atau siluman ular. Siluman ini berada di bawah kayu/srebeng.

            Masyarakat jadi terlalu takut untuk tinggal di daerah itu. Akhirnya mereka sepakat untuk pindah ke tanjung rendah. Ada suatu waktu, kemarau panjang melanda daerah itu. Muncullah sosok hantu laut yang berkata pada masyarakat desa itu,

            “Kalian janganlah mendiami daerah sini, daerah di sini sangatlah berbahaya,” ujarnya sedikit menggantung lalu dalam sekejap hilang.

            Awalnya, para warga desa tidak percaya. Mereka masih tetap mendiami daerah itu. Semakin lama mereka di sana, semakin banyak pula warga desa yang mati. Mereka mulai curiga, jadi yang dikatakan oleh hantu laut itu benar. Mereka berunding lagi, dan akhirnya sepakat untuk kembali mengungsi ke daerah Lubuk Caceak Sungai Musi.

 Di suatu waktu, Kutei Cece di hantam gempa besar. Gempa itu membelah desa menjadi 2 bagian sampai sayup memandang. Itulah kenapa, warga kembali pindah ke daerah Pulogeto. Karena pada saat mencari lokasi, desa ini terbagi menjadi beberapa kelompok.
            Kelompok 1 bertemu dengan tanah Geto yaitu tempat kapur atau pinang di dalam bakul sirih. Kelompok lain juga menemukan hal yang sama. Daerah ini kemudian dinamakan kumpulan Geto atau yang biasa kita sebut sebagai Pulogeto.
            Ada beberapa sumber yang mengatakan bahwa Pulogeto berasal dari kumpulan rumput ilalang. Ilalang ini dalam bahasa rejang disebut sebagai Geto.

BIODATA PENULIS


Ritmha Candra Ariesha, sangat kagum dipanggil dengan nama pena Ritma Rhytmz. Lahir 37 tahun lalu tepat tanggal 6 April di kota Majapahit, Mojokerto provinsi Jawa Timur. Seorang ibu dari 2 putri dan 1 putra ini agak melankolis yang kadang sanguinis | Punya hobi menggambar, menulis dan diskusi, menjadi seorang guru Bahasa Indonesia di SMP Negeri 1 Kepahiang Provinsi Bengkulu | Si malas yang mendirikan komunitas budaya dan teater Ruang Rupa Metamorfosa ini cinta mati pada buku | Si cuek yang menyukai romantis | Si langit biru yang mencintai langit malam | Si tukang nangis yang suka marah-marah | Si nekat yang takut sendirian | Si kantong tipis yang hobi traveling | Jejaknya bisa dilacak melalui akun facebook ritma ariesha. 


 

Tidak ada komentar:

PELIMA CERIA KUJANG

Di kelas, saya menghadapi peserta didik kelas tujuh yang tidak semangat dalam pembelajaran materi menulis dan menceritakan kembali cerita. K...