Tampilkan postingan dengan label cerita rakyat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerita rakyat. Tampilkan semua postingan

8.09.2022

MEDIA PEMBELAJARAN TEKS CERITA FANTASI BERBASIS KOMIK

Pembelajaran yang menarik, efektif, dan efisien membutuhkan suatu media yang menuntut seorang pendidik untuk berkreasi dalam menyusun media yang sesuai dengan tingkat kebutuhan peserta didik. Dalam hal ini salah satu cara yang dapat dilakukan adalah mengembangkan media pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan teknologi, salah satunya ialah media komik. Penelitian ini bertujuan untuk: mengembangkan media pembelajaran teks cerita fantasi berbasis komik. 

Berikut contoh komik yang bisa bapa/ibu guru gunakan untuk membantu pembelajaran Bahasa Indonesia kelas 7, materi Teks Cerita Fantasi.


 


 

 

 

 

 



SOAL :
Kembangkan gambar tersebut menjadi beberapa paragraf sebuah teks cerita fantasi sesuai imajinasi kalian masing-masing dari gambar tersebut!


















































8.03.2022

CERITA RAKYAT MASYARAKAT KEPAHIANG PROVINSI BENGKULU


MULO JIJEI PULOGETO
(Diceritakan kembali oleh RITMA CANDRA)



Hidup lebih dekat dengan misteri

Daripada keajaiban

Satu pandang mengiris hati

Lain tatap, keberkatan

Satu arah luas asri

Lain arah, kebinasaan

Satu lembah menghidupi

Lain lembah, pertanyaan

 

-Kisah Jejei Pulogeto-



Alkisah, di suatu desa bernama Kutei Tete, hiduplah 2 bersaudara. Sang kakak telah menikah, tetapi belum juga memiliki anak. Sedangkan sang adik juga sudah menikah. Bedanya, sang adik telah memiliki anak.

            Pada suatu waktu, sang adik mengadakan suatu hajatan yaitu Berkejei. Berkejei adalah hajatan besar, mewah, dan ramai. Atau bisa juga disebut hajatan besar-besaran pada masa itu. Sang kakak memerhatikan sekelilingnya. Rata-rata orang yang telah menikah di sana, setidaknya memiliki satu  anak. Betapa sedihnya hati sang kakak melihat para anak-anak berlarian bersama, nampak salah satu dari mereka adalah anak adiknya. Sang kakak ingin sekali memiliki anak juga.

            Sang kakak pun menghampiri suaminya dengan raut kecewa.

“Ai ite belek mai talang bae e,” (ai kita pulang ke kebun sajalah) ujar sang kakak pada suaminya. Ia sangat sedih, melihat sang adik membuat acara besar-besaran,  tetapi dirinya sendiri malah tidak bisa menikmatinya karena iri.

            Berangkatlah sepasang suami istri itu ke kebun milik mereka. Kebun itu telah mereka rawat sejak lama. Kebun itu sungguh bersih, di sekelilingnya banyak ditumbuhi bunga-bunga yang banyak juga macamnya.

            Esok paginya, sang kakak berjalan-jalan di kebun pada bagian yang banyak bunganya. Baru beberapa langkah, matanya menangkap sosok anak kecil berumur kurang lebih 5 tahun.

            “Siapa anak gadis yang cantik ini?” tanyanya dalam hati.

            Ia dan suaminya pun mencari-cari keberadaan orang tua dari gadis kecil itu. Mereka bertanya pada setiap warga di desa, kalau-kalau ada yang kehilangan anaknya. Waktu terus berjalan, tetapi tidak ada sama sekali yang merasa kehilangan anak.

Berundinglah ia dengan suaminya, dan akhirnya mengangkat gadis kecil itu menjadi anak mereka. Anak itu di berilah nama Smidang, yang kemudian hari nanti menjadi dewa Smidang.

            Waktu berlalu begitu cepat. Smidang kini beranjak dewasa. Ia menikah dengan seseorang dari daerah Kaur yang bernama Panji Ulung. Dari pasangan ini dikaruniai beberapa anak, yaitu Muning Muk, Muning AO, dan Muning Pekak.

            Keturunan-keturunan Muning Pekak ini melahirkan Rajo Mas yang bergelar Madah, Teak madon. Ia beristri sampai 7 orang. Ia sangat kaya, paling kaya di wilayah Bengkulu. Sampai legenda mengatakan, bahwa kubangan lumpur di kebunnya bisa menjadi sebuah hunian masyarakat. Keturunannya pergi ke berbagai wilayah. Salah satunya daerah Ksambe, rejang utara dan lain lain.

            Sampai ada 3 orang dan tidak diketahui lagi keturunan selanjutnya. 3 Muning ini, menjadi asal-usul masyarakat Pulogeto sekarang. Yaitu, Bikeu Smidang, Bikeu Muning Iman, dan Bikeu Macan Tanjung.

            Sedangkan asal mula nama Pulogeto sendiri yaitu dimulai dari nama Kutei Tete di muara air ka. Dari tanjung tinggi, dalam cerita dikatakan bahwa seseorang  menemukan keid atau siluman ular. Siluman ini berada di bawah kayu/srebeng.

            Masyarakat jadi terlalu takut untuk tinggal di daerah itu. Akhirnya mereka sepakat untuk pindah ke tanjung rendah. Ada suatu waktu, kemarau panjang melanda daerah itu. Muncullah sosok hantu laut yang berkata pada masyarakat desa itu,

            “Kalian janganlah mendiami daerah sini, daerah di sini sangatlah berbahaya,” ujarnya sedikit menggantung lalu dalam sekejap hilang.

            Awalnya, para warga desa tidak percaya. Mereka masih tetap mendiami daerah itu. Semakin lama mereka di sana, semakin banyak pula warga desa yang mati. Mereka mulai curiga, jadi yang dikatakan oleh hantu laut itu benar. Mereka berunding lagi, dan akhirnya sepakat untuk kembali mengungsi ke daerah Lubuk Caceak Sungai Musi.

 Di suatu waktu, Kutei Cece di hantam gempa besar. Gempa itu membelah desa menjadi 2 bagian sampai sayup memandang. Itulah kenapa, warga kembali pindah ke daerah Pulogeto. Karena pada saat mencari lokasi, desa ini terbagi menjadi beberapa kelompok.
            Kelompok 1 bertemu dengan tanah Geto yaitu tempat kapur atau pinang di dalam bakul sirih. Kelompok lain juga menemukan hal yang sama. Daerah ini kemudian dinamakan kumpulan Geto atau yang biasa kita sebut sebagai Pulogeto.
            Ada beberapa sumber yang mengatakan bahwa Pulogeto berasal dari kumpulan rumput ilalang. Ilalang ini dalam bahasa rejang disebut sebagai Geto.

BIODATA PENULIS


Ritmha Candra Ariesha, sangat kagum dipanggil dengan nama pena Ritma Rhytmz. Lahir 37 tahun lalu tepat tanggal 6 April di kota Majapahit, Mojokerto provinsi Jawa Timur. Seorang ibu dari 2 putri dan 1 putra ini agak melankolis yang kadang sanguinis | Punya hobi menggambar, menulis dan diskusi, menjadi seorang guru Bahasa Indonesia di SMP Negeri 1 Kepahiang Provinsi Bengkulu | Si malas yang mendirikan komunitas budaya dan teater Ruang Rupa Metamorfosa ini cinta mati pada buku | Si cuek yang menyukai romantis | Si langit biru yang mencintai langit malam | Si tukang nangis yang suka marah-marah | Si nekat yang takut sendirian | Si kantong tipis yang hobi traveling | Jejaknya bisa dilacak melalui akun facebook ritma ariesha. 


 

CERITA RAKYAT KABUPATEN KEPAHIANG - PROVINSI BENGKULU

BUTEU TEKUYUNG

(DiCERITAKAN KEMBALI OLEH RITCHIE ANANTA LIESFIANI)


Amen mringit

Pacak cmahik lenget

tbuang kdapet

Coa teu mdek hilih

mnok balak

 

 

Andaikata senandung

Mampu mengoyak langit

Menumpahkan berkah

 

Tanpa arah

Mengundang petaka

 

-Buteu Tekuyung-



Dikisahkan pada suatu masa, di pedalaman hutan yang sedikit jauh dari pemukiman masyarakat suku Rejang Kepahiang. Hutan tersebut  terletak di sebuah desa yang sekarang dikenal dengan nama Merigi oleh masyarakat Kepahiang. Di sana hiduplah sebuah keluarga biasa yang pada umumnya masyarakat suku Rejang bermata pencaharian sebagai petani. Mereka mengelola dan membuka lahan pertanian sebagai sumber kehidupannya sehari-hari. 

Hingga suatu saat, desa Merigi tersebut dilanda musim kemarau. Beberapa orang was-was karena musim tersebut mengambil alih musim panen. Dengan sebagian besar masyarakat yang bekerja sebagai petani, musim panceklik ini menjadi sebuah mimpi buruk. Banyak tanaman yang mati serta gagal panen karena jumlah air sungguh tak tentu, serta cuaca kemarau ekstrem yang cukup mengacaukan pertumbuhan tanaman para petani.

Tidak terkecuali untuk keluarga tadi, mereka berjuang keras menunggu panen yang entah kapan tibanya. Keluarga ini kesulitan menghidupi kedua anaknya. Sang kakak telah tumbuh menjadi seorang gadis remaja serta sang adik yang masih kecil.

Tiba hari dimana sang adik terus menangis menahan lapar. Sejak setengah hari mereka berdua belum makan apapun. Sang adik terus menangis, sedangkan orang tua mereka tinggal di pondok sawah dan masih berjuang serta berusaha mengerjakan lahan pertanian agar cepat panen.

            Sang kakak jengah dan bingung, tak tahu apa yang harus dilakukan karena sang adik terus saja menangis, bahkan makin kuat hingga suara sang adik serak. Akhirnya, sang kakak memutuskan untuk menemui orang tuanya di sawah. Ia memberitahukan perihal adiknya yang tak henti-hentinya menangis sedari pagi.

            “Mak, adik belum makan apa-apa dan terus menangis sedari pagi”, jelas si kakak.

            “Tunggulah sebentar lagi ya nak, musim panen belum tiba. Kami juga sedang mengusahakan yang terbaik untuk kalian dan keluarga kita”, ucap sang ibu melemah.

            “Baiklah Mak, kami akan menunggu”, kata si kakak sambil berlalu pulang untuk menjaga adik di rumah.

Begitulah penjelasan ibu di sawah. Namun hari pertama pun berlalu, dan mereka pun tak makan sama sekali. Begitupun hari kedua, sang adik pun kembali menangis. Sang kakak kembali menemui ibu di sawah.

            “Bagaimana Mak?, Adik menangis lagi. Dan sejujurnya aku juga lapar Mak”, keluh sang kakak lesu pada ibu sesampainya di sawah.

            “Maaf ya nak, masih belum bisa. Tolong bersabar sedikit lagi ya nak. Sungguh sulit panen di musim kemarau seperti ini. Emak dan Bapak bekerja keras untuk mendapatkan air untuk mengairi sawah agar tanaman ini tidak mati. Kembalilah, temani adikmu di rumah”, jelas sang ibu dengan lirih dan lemas.

            Sambil berjalan lesu, sang kakak kembali ke rumah. Bahunya turun tak semangat. Pikirannya kacau. Berjalan gontai gontai menuju rumah. Ia bingung dan merasa tak sanggup lagi untuk berjalan.  Adiknya membuat semakin kacau dengan terus menangis. Ia sedikit kecewa karena perutnya tak bisa diajak kompromi. Ia menahan lapar juga. Ia menenangkan adiknya untuk bersabar dan percaya pada ibunya.

            “Berdoa saja, semoga panen cepat tiba dan kita dapat makan nantinya,” jelas kakak pada adiknya.

            “Hiks, tapi aku sangat lapar Yuk”, ungkap adik masih terisak seakan tak mampu menangis lagi.

            “Ayuk juga dik, ayuk lapar juga. Tapi bagaimana lagi, Emak dan Bapak juga sedang bekerja keras di sawah. Kita harus bersabar dan menunggu”, ungkap si Kakak pada adik.

            Tak ada kata lagi, sang adik menelan ucapannya dalam isakan yang masih terdengar. Di hari kedua itu, mereka tertidur sambil menahan lapar. Hingga hari ketiga datang, jawaban sang ibi masih sama dan adiknya sudah tak tahan lagi. Adiknya mengamuk saat itu juga, mengacaukan seisi rumah dan memecahkan barang-barang. Sang kakak tidak bisa apa-apa, kulitnya pucat dan lesu. Membiarkan sang adik melakukan apa yang ia mau sampai ia tenang sendiri.

“Bagaimana jika Ading ikut Ayuk? Ayuk antar ke tempat Emak”, ajak si kakak lelah.

            Itu hanyalah alasan agar adiknya mengikutinya. Nyatanya sang kakak membawa adiknya ke atas bukit dekat rumah mereka. Sambil menimang-nimang sang adik agar diam dan tertidur. Tanpa sengaja, sambil menimang si adik, kaki si kakak mencapai sebuah gundukan batu di atas bukit. Masih menimang-nimang si adik sambil bersenandung.

Lekat.. lekat buteu tekuyung. Inok ngen bapak coa lak melie mie nasi. Lekat... lekat buteu tekuyung. Inok ngen bapak coa lak melie mie nasi. Lekat... lekat buteu tekuyung. Inok ngen bapak coa lak melie idup. (Tinggi-tinggi batu bergoyang. Ibu dan bapak tidak mau memberi nasi. Tinggi-tinggi batu bergoyang. Ibu dan bapak tidak mau memberi makan. Tinggi-tinggi batu bergoyang. Ibu dan bapak tidak mau memberi hidup)”, senandung si kakak di atas batu yang menumpuk.

Batu yang menumpuk pun bergoyang, seolah-olah mendengar nyanyian pilu sang

kakak. Batu tersebut bertambah tinggi selutut. Sang kakak tidak menyadarinya. Terus saja bernyanyi dan bernyanyi sambil menimang-nimang adik yang tengah terlelap karena capek menahan lapar dan menangis. Tumpukan batu pun bergoyang dan semakin tinggi seakan-akan mencapai langit.

Jauh dari bukit, di sawah pun ibu kaget melihat tumpukan batu yang semakin meninggi dan melihat si kakak dan adik di atas tumpukan batu tersebut. Sang ibu segera berlari menuju bukit tersebut. Sesampai di bawah tumpukan batu, ibu pun berteriak.

AYUK.. ADIK.. BAGAIMANA BISA KALIAN SAMPAI DI SANA? TURUN! EMAK MOHON! TUNGGULAH SAMPAI PANEN TIBA! SADARKAH KALIAN SUDAH DI ATAS LANGIT?”, Teriak sang ibu dari bawah.

Mendengar teriakan sang ibu, kakak pun kaget dan sadar. Ia panik, menoleh ke kanan dan ke kiri. Sang adik masih terlelap lelah tak bertenaga lagi seperti sudah mati. Tanpa sadar, sang kakak menendang batu yang diinjaknya. Tumpukan batu tersebut runtuh dan menimbulkan suara gemuruh dan menjadi hujan batu seketika. Pemukiman desa Merigi dekat bukit tersebut pun hancur seketika tertimpa batu-batu besar. Sang ibu yang di bawah pun tertimpa batu dan mati seketika. 

Sang kakak dan adik pun mati terjatuh dari tumpukan batu.

Kisah ini masih diceritakan oleh para tetua kepada anak dan cucu-cucunya dan menamakan cerita ini Buteu Tekuyung atau Batu Bergoyang.


PROFIL PENULIS


Ritchie Ananta Liesfiani adalah seorang murid SMA  kelas X. Beralamatkan Jalan Merdeka nomor 65 Kelurahan Dusun Kepahiang Kabupaten Kepahiang. 

PELIMA CERIA KUJANG

Di kelas, saya menghadapi peserta didik kelas tujuh yang tidak semangat dalam pembelajaran materi menulis dan menceritakan kembali cerita. K...