(DiCERITAKAN KEMBALI OLEH RITCHIE
ANANTA LIESFIANI)
Amen mringit
Pacak cmahik lenget
tbuang kdapet
Coa teu mdek hilih
mnok
balak
Andaikata
senandung
Mampu
mengoyak langit
Menumpahkan
berkah
Tanpa
arah
Mengundang petaka
-Buteu Tekuyung-
Dikisahkan pada suatu masa, di pedalaman hutan yang sedikit jauh dari pemukiman masyarakat suku Rejang Kepahiang. Hutan tersebut terletak di sebuah desa yang sekarang dikenal dengan nama Merigi oleh masyarakat Kepahiang. Di sana hiduplah sebuah keluarga biasa yang pada umumnya masyarakat suku Rejang bermata pencaharian sebagai petani. Mereka mengelola dan membuka lahan pertanian sebagai sumber kehidupannya sehari-hari.
Hingga suatu saat, desa Merigi tersebut dilanda musim kemarau. Beberapa orang was-was karena musim tersebut mengambil alih musim panen. Dengan sebagian besar masyarakat yang bekerja sebagai petani, musim panceklik ini menjadi sebuah mimpi buruk. Banyak tanaman yang mati serta gagal panen karena jumlah air sungguh tak tentu, serta cuaca kemarau ekstrem yang cukup mengacaukan pertumbuhan tanaman para petani.
Tiba hari
dimana sang adik terus menangis menahan lapar. Sejak setengah hari mereka
berdua belum makan apapun. Sang adik terus menangis, sedangkan orang tua mereka
tinggal di pondok sawah dan masih berjuang serta berusaha mengerjakan lahan
pertanian agar cepat panen.
Sang kakak jengah dan bingung, tak
tahu apa yang harus dilakukan karena sang adik terus saja menangis, bahkan
makin kuat hingga suara sang adik serak. Akhirnya, sang kakak memutuskan untuk
menemui orang tuanya di sawah. Ia memberitahukan perihal adiknya yang tak
henti-hentinya menangis sedari pagi.
“Mak,
adik belum makan apa-apa dan terus menangis sedari pagi”, jelas si kakak.
“Tunggulah sebentar lagi ya nak,
musim panen belum tiba. Kami juga sedang mengusahakan yang terbaik untuk kalian
dan keluarga kita”, ucap sang ibu melemah.
“Baiklah Mak, kami akan menunggu”, kata si kakak sambil berlalu pulang untuk
menjaga adik di rumah.
Begitulah
penjelasan ibu di sawah. Namun hari pertama pun berlalu, dan mereka pun tak
makan sama sekali. Begitupun hari kedua, sang adik pun kembali menangis. Sang
kakak kembali menemui ibu di sawah.
“Bagaimana Mak?, Adik menangis lagi. Dan sejujurnya aku juga lapar Mak”, keluh sang kakak lesu pada ibu
sesampainya di sawah.
“Maaf ya nak, masih belum bisa.
Tolong bersabar sedikit lagi ya nak. Sungguh sulit panen di musim kemarau
seperti ini. Emak dan Bapak bekerja keras untuk mendapatkan air untuk mengairi
sawah agar tanaman ini tidak mati. Kembalilah, temani adikmu di rumah”, jelas
sang ibu dengan lirih dan lemas.
Sambil berjalan lesu, sang kakak kembali ke rumah. Bahunya turun tak semangat. Pikirannya kacau. Berjalan gontai gontai menuju rumah. Ia bingung dan merasa tak sanggup lagi untuk berjalan. Adiknya membuat semakin kacau dengan terus menangis. Ia sedikit kecewa karena perutnya tak bisa diajak kompromi. Ia menahan lapar juga. Ia menenangkan adiknya untuk bersabar dan percaya pada ibunya.
“Berdoa saja, semoga panen cepat
tiba dan kita dapat makan nantinya,” jelas kakak pada adiknya.
“Hiks, tapi aku sangat lapar Yuk”, ungkap adik masih terisak seakan
tak mampu menangis lagi.
“Ayuk
juga dik, ayuk lapar juga. Tapi
bagaimana lagi, Emak dan Bapak juga sedang bekerja keras di sawah. Kita harus
bersabar dan menunggu”, ungkap si Kakak pada adik.
Tak ada kata lagi, sang adik menelan ucapannya dalam isakan yang masih terdengar. Di hari kedua itu, mereka tertidur sambil menahan lapar. Hingga hari ketiga datang, jawaban sang ibi masih sama dan adiknya sudah tak tahan lagi. Adiknya mengamuk saat itu juga, mengacaukan seisi rumah dan memecahkan barang-barang. Sang kakak tidak bisa apa-apa, kulitnya pucat dan lesu. Membiarkan sang adik melakukan apa yang ia mau sampai ia tenang sendiri.
“Bagaimana
jika Ading ikut Ayuk? Ayuk antar ke tempat Emak”,
ajak si kakak lelah.
Itu hanyalah alasan agar adiknya
mengikutinya. Nyatanya sang kakak membawa adiknya ke atas bukit dekat rumah
mereka. Sambil menimang-nimang sang adik agar diam dan tertidur. Tanpa sengaja,
sambil menimang si adik, kaki si kakak mencapai sebuah gundukan batu di atas
bukit. Masih menimang-nimang si adik sambil bersenandung.
“Lekat.. lekat buteu tekuyung. Inok ngen bapak coa lak melie mie nasi. Lekat... lekat buteu tekuyung. Inok ngen bapak coa lak melie mie nasi. Lekat... lekat buteu tekuyung. Inok ngen bapak coa lak melie idup. (Tinggi-tinggi batu bergoyang. Ibu dan bapak tidak mau memberi nasi. Tinggi-tinggi batu bergoyang. Ibu dan bapak tidak mau memberi makan. Tinggi-tinggi batu bergoyang. Ibu dan bapak tidak mau memberi hidup)”, senandung si kakak di atas batu yang menumpuk.
kakak. Batu tersebut bertambah tinggi selutut. Sang kakak tidak menyadarinya. Terus saja bernyanyi dan bernyanyi sambil menimang-nimang adik yang tengah terlelap karena capek menahan lapar dan menangis. Tumpukan batu pun bergoyang dan semakin tinggi seakan-akan mencapai langit.
“AYUK.. ADIK.. BAGAIMANA BISA KALIAN SAMPAI
DI SANA? TURUN! EMAK MOHON! TUNGGULAH SAMPAI PANEN TIBA! SADARKAH KALIAN SUDAH
DI ATAS LANGIT?”, Teriak sang ibu dari bawah.
Mendengar teriakan sang ibu, kakak pun kaget dan sadar. Ia panik, menoleh ke kanan dan ke kiri. Sang adik masih terlelap lelah tak bertenaga lagi seperti sudah mati. Tanpa sadar, sang kakak menendang batu yang diinjaknya. Tumpukan batu tersebut runtuh dan menimbulkan suara gemuruh dan menjadi hujan batu seketika. Pemukiman desa Merigi dekat bukit tersebut pun hancur seketika tertimpa batu-batu besar. Sang ibu yang di bawah pun tertimpa batu dan mati seketika.
Sang
kakak dan adik pun mati terjatuh dari tumpukan batu.
Kisah
ini masih diceritakan oleh para tetua kepada anak dan cucu-cucunya dan
menamakan cerita ini Buteu Tekuyung atau Batu Bergoyang.
Ritchie Ananta Liesfiani adalah seorang murid SMA kelas X. Beralamatkan Jalan Merdeka nomor 65 Kelurahan Dusun Kepahiang Kabupaten Kepahiang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar