8.03.2022

CERITA RAKYAT KABUPATEN KEPAHIANG - PROVINSI BENGKULU

BUTEU TEKUYUNG

(DiCERITAKAN KEMBALI OLEH RITCHIE ANANTA LIESFIANI)


Amen mringit

Pacak cmahik lenget

tbuang kdapet

Coa teu mdek hilih

mnok balak

 

 

Andaikata senandung

Mampu mengoyak langit

Menumpahkan berkah

 

Tanpa arah

Mengundang petaka

 

-Buteu Tekuyung-



Dikisahkan pada suatu masa, di pedalaman hutan yang sedikit jauh dari pemukiman masyarakat suku Rejang Kepahiang. Hutan tersebut  terletak di sebuah desa yang sekarang dikenal dengan nama Merigi oleh masyarakat Kepahiang. Di sana hiduplah sebuah keluarga biasa yang pada umumnya masyarakat suku Rejang bermata pencaharian sebagai petani. Mereka mengelola dan membuka lahan pertanian sebagai sumber kehidupannya sehari-hari. 

Hingga suatu saat, desa Merigi tersebut dilanda musim kemarau. Beberapa orang was-was karena musim tersebut mengambil alih musim panen. Dengan sebagian besar masyarakat yang bekerja sebagai petani, musim panceklik ini menjadi sebuah mimpi buruk. Banyak tanaman yang mati serta gagal panen karena jumlah air sungguh tak tentu, serta cuaca kemarau ekstrem yang cukup mengacaukan pertumbuhan tanaman para petani.

Tidak terkecuali untuk keluarga tadi, mereka berjuang keras menunggu panen yang entah kapan tibanya. Keluarga ini kesulitan menghidupi kedua anaknya. Sang kakak telah tumbuh menjadi seorang gadis remaja serta sang adik yang masih kecil.

Tiba hari dimana sang adik terus menangis menahan lapar. Sejak setengah hari mereka berdua belum makan apapun. Sang adik terus menangis, sedangkan orang tua mereka tinggal di pondok sawah dan masih berjuang serta berusaha mengerjakan lahan pertanian agar cepat panen.

            Sang kakak jengah dan bingung, tak tahu apa yang harus dilakukan karena sang adik terus saja menangis, bahkan makin kuat hingga suara sang adik serak. Akhirnya, sang kakak memutuskan untuk menemui orang tuanya di sawah. Ia memberitahukan perihal adiknya yang tak henti-hentinya menangis sedari pagi.

            “Mak, adik belum makan apa-apa dan terus menangis sedari pagi”, jelas si kakak.

            “Tunggulah sebentar lagi ya nak, musim panen belum tiba. Kami juga sedang mengusahakan yang terbaik untuk kalian dan keluarga kita”, ucap sang ibu melemah.

            “Baiklah Mak, kami akan menunggu”, kata si kakak sambil berlalu pulang untuk menjaga adik di rumah.

Begitulah penjelasan ibu di sawah. Namun hari pertama pun berlalu, dan mereka pun tak makan sama sekali. Begitupun hari kedua, sang adik pun kembali menangis. Sang kakak kembali menemui ibu di sawah.

            “Bagaimana Mak?, Adik menangis lagi. Dan sejujurnya aku juga lapar Mak”, keluh sang kakak lesu pada ibu sesampainya di sawah.

            “Maaf ya nak, masih belum bisa. Tolong bersabar sedikit lagi ya nak. Sungguh sulit panen di musim kemarau seperti ini. Emak dan Bapak bekerja keras untuk mendapatkan air untuk mengairi sawah agar tanaman ini tidak mati. Kembalilah, temani adikmu di rumah”, jelas sang ibu dengan lirih dan lemas.

            Sambil berjalan lesu, sang kakak kembali ke rumah. Bahunya turun tak semangat. Pikirannya kacau. Berjalan gontai gontai menuju rumah. Ia bingung dan merasa tak sanggup lagi untuk berjalan.  Adiknya membuat semakin kacau dengan terus menangis. Ia sedikit kecewa karena perutnya tak bisa diajak kompromi. Ia menahan lapar juga. Ia menenangkan adiknya untuk bersabar dan percaya pada ibunya.

            “Berdoa saja, semoga panen cepat tiba dan kita dapat makan nantinya,” jelas kakak pada adiknya.

            “Hiks, tapi aku sangat lapar Yuk”, ungkap adik masih terisak seakan tak mampu menangis lagi.

            “Ayuk juga dik, ayuk lapar juga. Tapi bagaimana lagi, Emak dan Bapak juga sedang bekerja keras di sawah. Kita harus bersabar dan menunggu”, ungkap si Kakak pada adik.

            Tak ada kata lagi, sang adik menelan ucapannya dalam isakan yang masih terdengar. Di hari kedua itu, mereka tertidur sambil menahan lapar. Hingga hari ketiga datang, jawaban sang ibi masih sama dan adiknya sudah tak tahan lagi. Adiknya mengamuk saat itu juga, mengacaukan seisi rumah dan memecahkan barang-barang. Sang kakak tidak bisa apa-apa, kulitnya pucat dan lesu. Membiarkan sang adik melakukan apa yang ia mau sampai ia tenang sendiri.

“Bagaimana jika Ading ikut Ayuk? Ayuk antar ke tempat Emak”, ajak si kakak lelah.

            Itu hanyalah alasan agar adiknya mengikutinya. Nyatanya sang kakak membawa adiknya ke atas bukit dekat rumah mereka. Sambil menimang-nimang sang adik agar diam dan tertidur. Tanpa sengaja, sambil menimang si adik, kaki si kakak mencapai sebuah gundukan batu di atas bukit. Masih menimang-nimang si adik sambil bersenandung.

Lekat.. lekat buteu tekuyung. Inok ngen bapak coa lak melie mie nasi. Lekat... lekat buteu tekuyung. Inok ngen bapak coa lak melie mie nasi. Lekat... lekat buteu tekuyung. Inok ngen bapak coa lak melie idup. (Tinggi-tinggi batu bergoyang. Ibu dan bapak tidak mau memberi nasi. Tinggi-tinggi batu bergoyang. Ibu dan bapak tidak mau memberi makan. Tinggi-tinggi batu bergoyang. Ibu dan bapak tidak mau memberi hidup)”, senandung si kakak di atas batu yang menumpuk.

Batu yang menumpuk pun bergoyang, seolah-olah mendengar nyanyian pilu sang

kakak. Batu tersebut bertambah tinggi selutut. Sang kakak tidak menyadarinya. Terus saja bernyanyi dan bernyanyi sambil menimang-nimang adik yang tengah terlelap karena capek menahan lapar dan menangis. Tumpukan batu pun bergoyang dan semakin tinggi seakan-akan mencapai langit.

Jauh dari bukit, di sawah pun ibu kaget melihat tumpukan batu yang semakin meninggi dan melihat si kakak dan adik di atas tumpukan batu tersebut. Sang ibu segera berlari menuju bukit tersebut. Sesampai di bawah tumpukan batu, ibu pun berteriak.

AYUK.. ADIK.. BAGAIMANA BISA KALIAN SAMPAI DI SANA? TURUN! EMAK MOHON! TUNGGULAH SAMPAI PANEN TIBA! SADARKAH KALIAN SUDAH DI ATAS LANGIT?”, Teriak sang ibu dari bawah.

Mendengar teriakan sang ibu, kakak pun kaget dan sadar. Ia panik, menoleh ke kanan dan ke kiri. Sang adik masih terlelap lelah tak bertenaga lagi seperti sudah mati. Tanpa sadar, sang kakak menendang batu yang diinjaknya. Tumpukan batu tersebut runtuh dan menimbulkan suara gemuruh dan menjadi hujan batu seketika. Pemukiman desa Merigi dekat bukit tersebut pun hancur seketika tertimpa batu-batu besar. Sang ibu yang di bawah pun tertimpa batu dan mati seketika. 

Sang kakak dan adik pun mati terjatuh dari tumpukan batu.

Kisah ini masih diceritakan oleh para tetua kepada anak dan cucu-cucunya dan menamakan cerita ini Buteu Tekuyung atau Batu Bergoyang.


PROFIL PENULIS


Ritchie Ananta Liesfiani adalah seorang murid SMA  kelas X. Beralamatkan Jalan Merdeka nomor 65 Kelurahan Dusun Kepahiang Kabupaten Kepahiang. 

Tidak ada komentar:

PELIMA CERIA KUJANG

Di kelas, saya menghadapi peserta didik kelas tujuh yang tidak semangat dalam pembelajaran materi menulis dan menceritakan kembali cerita. K...