3.07.2008
Mengemas Nilai Budaya antara Sinetron dan Karya Sastra
Sinetron adalah kependekan dari sinema elektronik, artinya sebuah film seri yang ditayangkan dalam media elektronik (televisi). Istilah sinetron dikemukakan pertama kali oleh penulis kontroversial Arswendo Atmowiloto. Di Indonesia setelah menjamurnya stasiun televisi swasta, sinetron semakin banyak digemari, terutama oleh kaum perempuan. Cerita sinetron pun mengalami masa musiman. Misalkan ,usim sinetron remaja, musim sinetron misteri, sampai pada musim sinetron tiruan film asing atau yang disebut sinetron plagiat. Benar adanya tentang tulisan-tulisan yang beredar selama ini tentang sinetron, seperti selalu memberi kita bayangan gelap akan kehidupan sinetron.
Tokoh Ria memandang binar penuh kekaguman pada Syamsul Bahri. Siti cemburu melihat adegan kemesraan mereka berdua. Di lain pihak tokoh antagonis Datuk Maringgih mulai menyusun strategi menghancurkan bisnis ayah Siti, Sutan Sulaiman. Gambaran dari sinetron Siti Nurbaya yang ditayangkan salah satu stasiun televisi tersebut tampak mencitrakan tokoh-tokoh yang borjuis, glamour, dengan setting latar belakang kontemporer. Jauh berbeda dengan cerita asli karya sastra roman Siti Nurbaya karya Marah Rusli yang sarat nilai adat istiadat dan norma budaya.
Seperti halnya juga pada sinetron yang diadaptasi dari legenda Bawang Merah, Bawang Putih, kemudian sinetron Malin Kundang yang telah dikemas sedemikian rupa tanpa menunjukkan keorisinalitas isi cerita. Keterkaitan antara sinetron dengan karya sastra yang telah disinggung di atas banyak mengalami adaptasi frontal yang banyak menuai kritik dan menimbulkan pencitraan yang gelap terhadap karya aslinya. Dengan memupus imajinasi para siswa serta menimbulkan banyak tafsiran yang sama pada karya sastra yang diajarkan di sekolah. Sehingga, banyak sekali tatanan nilai yang berjungkir balik serta kurang mampu mengkomunikasikan bilai tradisi budaya yang berperspektif moral. Padahal, seperti yang banyak diketahui oleh awan sebelum munculnya televisi komersial, TVRI telah mampu mengusung dan menampilkan sinetron hasil adaptasi karya sastra yang bermuatan moral dan tradisi budaya. Sukses dengan Siti Nurbaya, kemudian Sengsara Membawa Nikmat yang mengekspos ranah Minang yang sarat dengan ajaran moral dan religi.
Strategi yang dilancarkan oleh beberapa stasiun televisi swasta tersebut hanya mengejar pemenuhan budaya populer dan memusnahkan nilai-nilai budaya tradisional, hanya untuk mendapatkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya sebagai mesin kapitalisme. Akan tetapi, jika ditanya tentang peran serta peningkatan geliat karya sastra di nusantara, pihak industri sinetron hanya menjawab dengan sah-sah saja memodernisasi karya sastra klasik daripada lambat laun dilupakan orang dan kurang “dilirik” oleh generasi muda sekarang.
Sinetron versus karya sastra ini ujung-ujungnya bertujuan pada komersial dengan target “iklan dan rating”. Dengan kata lain, jika sinetron yang bernuansa seni lebih dominan daripada unsur bisnis biasanya mengeluarkan biaya besar. Akibatnya, produser lebih suka menghasilkan sinetron yang gampang dibuat dengan meraup iklan dalam jumlah besar. Jika para produser sinetron dapat melihat munculnya stasiun televisi lokal di Yogjakarta yang mengemban misi mengangkat citra budaya lokal di Yogjakarta telah mampu mempertemukan dua hal yakni tetap untung dengan memelihara nilai budaya dan norma sosial.
Nilai tradisi dalam sinetron yang menggali nilai budaya bangsa memang harus disampaikan. Untuk mewujudkannya diperlukan beberapa promotor sebagai hamba kebudayaan yang tidak hanya berpikir bisnis tetapi juga berkesenian. Dengan demikian, mungkin saja stasiun-stasiun televisi di Indonesia belajar dari stasiun televisi lokal di Yogjakarta dan kembali memproduksi sinetron yang bermuatan budaya seperti Keluarga Cemara, Losmen Srikandi, Anak yang Hilang yang telah banyak mendapat simpati sebagai representasi karya sastra, sehingga enak ditonton dan sekaligus memuat falsafah hidup bangsa.
Banyak karya sastra yang hidup dan berkembang di Indonesia baik itu sastra indonesia pada umumnya maupun karya sastra lokal yang layak dan mampu untuk diaktualisasikan. Ide cerita karya sastra yang disinetronkan pun tetap mempertahankan konteks asli cerita agar generasi mendatang memiliki pemahaman penuh atas karya sastra tersebut.
Folklor Suku Rejang Bengkulu
Ekspresi kreatif merupakan tanggapan dari renungan seseorang terhadap kehidupan masyarakatnya. Maka, yang terekspresi bisa berfungsi sebagai hiburan, pencerahan, komentar atas situasi, rangkuman, karikatur, simbolisme, ekspresi tragis dengan mini kata pertunjukan. Semua bentuk ekspresi itu tidak memaksa orang lain untuk mendukungnya. Manusia dengan ruang batin kreatifnya mengolah imajinasi menjadi kreasi dalam proses penciptaan yang diungkapkan dalam pertunjukan, lagu, karya drama, serta wahana-wahana ekspresif lain.
Latar belakang lagu daerah suku Rejang Bengkulu mayoritas tercipta karena adanya lagu Meringit. Meringit adalah semacam keluhan-keluhan seseorang saat dia mengalami kesulitan, permasalahan, cobaan, konflik, sampai pada kesenangan pun dilantunkan seperti layaknya sebuah lagu.
Dalam khasanah budaya, orang mengekspresikan nilai budaya dengan berbagai cara, baik secara verbal maupun nonverbal. Manusia diciptakan oleh Tuhan dengan dilengkapi indera rasa yang dapat digunakan untuk merespon dunia luar. Dalam mengekspresikan budayanya, manusia memiliki kecenderungan untuk terus menerus meningkatkan proses kreatif yang dimilikinya, sebab dalam kenyataannya manusia tidak pernah merasa puas dengan keberadaannya sebagai suatu kondisi terminal.
Perkembangan hasil karya seni selalu dipengaruhi oleh fenomena kehidupan masyarakat selaku pendukung kelangsungan suatu kesenian. Suatu kenyataan bahwa bangsa Indonesia terdiri dari beberapa suku bangsa, tentunya memiliki latar belakang sosial-budaya yang beraneka ragam. Keanekaragaman masyarakat tersebut tercermin dalam berbagai aspek kehidupannya, termasuk di dalam hasil karya seninya. Salah satu wujud karya seni yang menjadi bagian kebudayaan, dikenal oleh masyarakat adalah kesenian lagu daerah.
Lagu-lagu yang bersifat tradisional dan kolektif tersebut dianggap menggambarkan kepribadian komunitas atau masyarakat setempat. Proses penyebaran secara lisan senantiasa hanya mengandalkan cara-cara lisan tanpa tulisan. Penyebaran dari satu tempat ke tempat lain, dari satu generasi ke generasi lainnya dilakukan melalui komunikasi langsung, dari mulut ke mulut. Perkembangan lagu-lagu daerah ini semata-mata hanya mengandalkan daya ingat manusia pendukungnya
Sepanjang sejarah peradaban manusia Masyarakat adat merupakan kelompok yang paling tidak beruntung dan rentan (Vulnerable Groups), menurut catatan PBB tahun 1992 jumlah masyarakat adat mencapai 300 juta lebih dari 70 negara di seluruh dunia, termasuk suku Rejang di Indonesia. Pengakuan dan perlindungan atas identitas, cara hidup, dan hak-hak ulayat sebagai Tottekes atas lahan-lahan tradisional dan sumber-sumber alam lainnya. Namun, masyarakat adat selalu berada dalam ketidakberdayaan, baik dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, hukum, maupun di bidang politik terletak pada posisi yang terancam terutama terhadap suku luar yang senantiasa tidak memberikan kesempatan untuk berkembang.
Suku Rejang Propinsi Bengkulu memiliki citra kebudayaan daerah yang sangat tinggi. Banyak sekali kebudayaan suku Rejang yang dipakai dan disaring oleh suku bangsa lain. Misalkan, di pulau Bali masyarakat memakai tarian Rejang sebagai kebudayaan mereka yang sakral. Gerakan dan lagu juga menyaring dari kebudayaan suku Rejang propinsi Bengkulu. Di daerah Medan juga masih juga menyaring budaya dari suku Rejang.
Suku Rejang yang terletak di propinsi Bengkulu memiliki lagu daerah yang isinya menceritakan dan mengisyaratkan cerita rakyat baik itu yang pernah terjadi (nyata) maupun hanya dongeng. Hal tersebut itulah, yang membuat lagu daerah suku Rejang menjadi sarat makna. Tiap lagu daerah yang diungkapkan dalam syair memiliki kaidah dan nilai-nilai estetik yang dalam. Namun, sangat disayangkan karena lagu daerah yang merupakan cerita rakyat di suku Rejang tersebut mulai menipis. Pengetahuan para leluhur suku Rejang yang kurang, membuat para generasi berikutnya jarang mengetahui keberadaan cerita rakyat maupun lagu daerah tersebut.
Salah satu langkah agar tidak termasuk kelompok yang dinilai sebagai orang yang tidak ‘tidak tahu budaya Rejang’ adalah dengan memahami budaya sendiri, semacam pemahaman akan keberadaan lagu daerah sebagai salah satu bagian budaya suku Rejang Bengkulu. Lagu daerah juga sangat penting bagi generasi muda sebagai kader yang harus melestarikan budaya salah satu suku yang berkembang di propinsi Bengkulu, Sumatera Bagian Selatan, karena lagu daerah dapat digunakan sebagai sarana pendidikan, lagu daerah juga mengandung banyak nilai estetika sebagai salah satu keindahan kebudayaan Indonesia, karena dibalik lagu daerah tersebut, terdapat suatu cerita rakyat yang terbersit dalam proses penciptaan lagu daerah tersebut. Tidak hanya mengenal dari mendengar dan melihatnya secara kasat mata saja. Sesungguhnya seni ini sangat mengagumkan dan menakjubkan. Hanya orang yang kagum serta takjub saja merasakan pengalaman estetik yang menyenangkan itu.
Folklor penduduk suku Rejang dapat dipergunakan untuk merekonstruksi nilai budaya atau pandangan hidup penduduknya. Objek-objek yang dapat dijadikan bahan analisis dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui salah satu bentuk folklor dari suku bangsa atau kolektif bersangkutan. Hal itu disebabkan folklor mengungkapkan secara terselubung (seperti pada dongeng atau cerita rakyat), atau secara gamblang (seperti pada peribahasa).
Suku Rejang yang terletak di propinsi Bengkulu memiliki lagu daerah yang isinya menceritakan dan mengisyaratkan cerita rakyat baik itu yang pernah terjadi (nyata) maupun hanya dongeng. Hal tersebut itulah, yang membuat lagu daerah suku Rejang menjadi sarat makna. Tiap lagu daerah yang diungkapkan dalam syair memiliki kaidah dan makna historis yang dalam. Namun, sangat disayangkan karena lagu daerah yang merupakan cerita rakyat di suku Rejang tersebut mulai menipis. Pengetahuan para leluhur suku Rejang yang kurang, membuat para generasi berikutnya jarang mengetahui keberadaan cerita rakyat maupun lagu daerah tersebut.
Suku Rejang dibagi menjadi empat suku lagi dan satu suku tambahan, hal tersebut yang membuat tak teroganisirnya potensi budaya yang dimiliki. Setiap suku mengajukan bahwa suku merekalah yang terbaik.
”Cerito rakyat yo bik ndaleak may kutei Jang kuleu kiseak cerito yo tentang indok dik ade anak smulen baes genne lalan anakne cak mratau oak, lak mesoa jerkei dik lebeak baik, an anak yo coa belek-belek, belek debat lak dem nong indok ne dik bik tuei, indok ne indew lut magea anak ne suang, indokne coa dik spasoak igei. Seleyen anak ne o.
Sapie ketiko lalan sakit paeak di akhirne matie, nak sadienen. Indok ne gik blemet anak ne belek, indew ne menea awak ne sapie sakit. Tiep bilei indok ne gik blemet anak ne belek, indew ne menea awak ne sapie sakit.
Tiep bilei indok ne blemet lalan nak adep pondok sambea liseak sakit kerno indew ngen anak. Indokne trus belemet sambea sakit si mnyanyi lagu dik Minai lalan Belek.
Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek
Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek
Kemak boloak si depeak, depeak nang au
Kemak dawen si lipet duwei, lipet duwei
Kunyeu depeloak etun, temegeak nang au
Belek asen ite beduei, ite beduei
Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek
Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek
Amen ku namen repie epet nang au
Coa ku melapen eboak kedulo, eboak kedulo
Amen ku namen idup yo peset nang au
Coa ku lak tu’un mai dunio, tu’un mai dunio
Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek
Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek
Amen ade seludang pinang nang au
Jano guno ku upeak igei, ku upeak igei
Amen ade bayang betunang nang au
Jano guno bemadeak igei, bemadeak igei
Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek
Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek
Bilei iyo temanem tebeu nang au
Memen sebilei temanem seie, temanem seie
Bilei iyo ite betemeu nang au
Memn sebilei ite becei, ite becei
Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek
Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek
Kunai lenyet, lalan tem ngoa lagu indokne, coa sapie atie kemleak indokne indew si. Si lajeu tu un mai dunio. Keten kunai das lenget, lalan tuun kunai lenget ngen dewi-dewi di alep-alep. Indok ne yo ano te kejir kemleak lalan anak ne jijei dewi, hinggo si bepeker lalan bik matie sudoo jijei dewi. ...Cerita rakyat ini telah mendarah daging pada keturunan masyarakat suku Rejang Bengkulu. Cerita ini berkisah tentang seorang ibu yang memiliki anak gadis yang sangat cantik bernama Lalan. Sang anak menginginkan dirinya merantau ke suatu tempat yang jauh, hendak mendapatkan nasib yang lebih baik. Lama sekali sang anak tidak pulang-pulang untuk sekedar menjenguk ibunya yang sudah tua. Ibunya merasa sangat merindukan anak satu-satunya itu. Sang ibu tidak memiliki sanak lagi selain anaknya si Lalan itu.
Di suatu tempat, nampak si Lalan belum sampai mendapatkan nasib baik. Dia menjadi seorang pelayan di sebuah ladang milik saudagar cina. Baru bekerja beberapa hari, si Lalan tidak mendapatkan perlakuan yang baik dari majikannya. Saudagar cina tersebut sering membuat Lalan mendapatkan luka-luka di badan karena perlakuan kasarnya.
Sampai pada suatu saat Lalan menderita sakit dan akhirnya dia mati. Di kejauhan, tepatnya di kampung halamannya, sang ibu masih menantikan kedatangan anak gadis satu-satunya itu. Betapa kerinduan sang ibu sampai dia merintih kesakitan. Tiap hari sang ibu menantikan kedatangan Lalan di depan gubuknya, tapi Lalan tak kunjung datang menjenguk juga.
Suatu pagi yang tiada cerah-cerahnya bagi sang ibu, seperti biasanya dia tetap menanti Lalan di depan gubuknya sambil merintih menahan sakit karena kerinduan kepada anaknya. Sang ibu terus saja menunggu dan dia merintih menyanyikan suatu lagu yang menginginkan Lalan pulang.
Oi Lalan pulang… oi lalan pulang, lalan pulang
Oi Lalan pulang… oi lalan pulang, lalan pulang
Ambil bambu sebelah-sebelah
Ambil daun dilipat dua, lipat dua
Biar sepuluh orang melarang
Kembali rasa kita berdua
Oi Lalan pulang… oi lalan pulang, lalan pulang
Oi Lalan pulang… oi lalan pulang, lalan pulang
Kalau kutahu buah Pare pahit
Tidak kumasak buah kedula
Kalau kutahu hidup ini sengsara
Tidak kumau turun ke dunia
Oi Lalan pulang… oi lalan pulang, lalan pulang
Oi Lalan pulang… oi lalan pulang, lalan pulang
Kalau ada pelepah pinang
Apa guna ku upah lagi
Kalau ada bayangan hendak bertunangan
Apa guna berkata-kata lagi
Oi Lalan pulang… oi lalan pulang, lalan pulang
Oi Lalan pulang… oi lalan pulang, lalan pulang
Hari ini menanam tebu
Besok lusa menanam serai
Hari ini kita bertemu
Besok lusa kita bercerai
Dari kahyangan, Lalan mendengar rintihan lagu ibunya. Tidak sampai hati melihat sang ibu terundung kerinduan pada dirinya, dia segera turun ke bumi. Tampak dari atas langit, si Lalan turun dari kahyangan bersama dewi-dewi yang cantik-cantik. Sang ibu sangat kaget karena melihat Lalan anaknya menjadi seorang dewi, sehingga dia berpikir bahwa Lalan telah mati dan menjadi seorang dewi.
Dengan melihat si Lalan, kerinduan sang ibu telah terobati. Sang ibu tersungkur di depan gubuknya. Kemudian dia mati dengan tersenyum tapi meneteskan air matanya. Konon, air mata sang ibu terus saja mengalir di depan gubuknya sampai menggenang dan menjadi sungai. Yang sekarang menjadi sungai Putih. Sampai sekarang oleh masyarakat suku Rejang, sungai Putih dianggap keramat. Masyarakat suku Rejang percaya bahwa Lalan yang telah menjadi dewi tersebut masih sering turun ke sungai Putih untuk mandi di air mata ibunya itu.”
Sampai saat ini, lagu Lalan Belek tetap dilantunkan oleh masyarakat suku Rejang Bengkulu. Sering, nenek-nenek atau para orang tua menceritakan legenda Lalan belek sambil melantunkan lagu kepada para cucu atau anaknya. Sehingga lagu ini pun menjadi lagu yang diwariskan secara turun temurun tapi tanpa diketahui siapa yang menciptakan lagu tersebut.
” aleu nien lageu kutei jang kuleu di nlatarbelakangi mage crito rakyat ngen jijei saleak do warisan tuun temuun kunai legenda de penan. Crito rakyat tentang dikuptun terneak benea-benea tejijei.. banyak sekali lagu daerah suku Rejang Bengkulu yang dilatarbelakangi oleh cerita rakyat dan menjadi salah satu warisan para leluhur. Dari legenda suatu tempat, cerita rakyat tentang seseorang yang dianggap pernah benar-benar terjadi...”
” Deu versi di muncul kunai tiep lageu kutei jang. Karno coa dik sine tek tertulis tentang lageu daerah kutei jang dik tercipto kunai cerito rakyat kutei jang dewek...banyak versi yang muncul dari setiap lagu suku rejang, karena tidak adanya teks tertulis tentang lagu daerah suku Rejang yang tercipta dari cerita rakyat suku Rejang sendiri”
warga suku Rejang mengungkapkan bahwa dalam sejarah suku Rejang, konon ada dewi atau biasa disebut seorang bidadari bernama Lalan yang selalu mandi di sungai Putih. Sehingga terkait dengan lagu dan jalan cerita yang melatar belakangi terciptanya lagu Lalan belek. Legenda sungai Putih dikaitkan dengan latar belakang lagu Lalan Belek, karena sungai Putih yang berlokasi di dusun Curup airnya putih dan bening, sebening air mata sang ibu Lalan.
” Kepercayoan tun kutei jang bahwa memain ade dikup bidadari genne lalan di galak keten mai mendei nak bioa puteak kerno si indew ngen indokne ...kepercayaan warga suku Rejang bahwa memang ada seorang bidadari bernama Lalan yang sering datang untuk mandi di sungai Putih karena dia merindukan ibunya...”
Isi dalam lagu Lalan Belek memiliki banyak ungkapan-ungkapan yang sarat makna. Dan oleh para leluhur atau orang tua suku rejang dipakai sebagai petuah atau nasehat kepada anak cucunya.
” Legenda mengenai bioa puteak jijei saleak do latarblakang adene lageu lalan belek. Kepecayoan tun kutei jang tentang legenda bioa puteak di cenrito kunai latarbelakang terciptane lageu menea tun manggep legenda o benea-benea te jijei ...legenda mengenai sungai Putih menjadi salah satu latar belakang terciptanya lagu Lalan Belek atau Lalan Pulang. Kepercayaan masyarakat Rejang tentang legenda sungai Putih yang diceritakan dari latar belakang terciptanya lagu tersebut membuat masyarakat menganggap legenda tersebut benar-benar terjadi...”
3.06.2008
Puisi
Tak ada yang menarik dari perempuan itu
Sama sekali
Badannya terlalu sintal dan berisi
Walau menurut banyak lelaki,
Itu sedikit banyak bisa memuaskan fantasi liar mereka
Mereka…
Lelaki yang tak lebih liar dari seekor kucing jantan
Hanya akan menggerak-gerakkan ekornya
Dengan bola mata yang berputar-putar
Mengendus-endus dari jauh aroma perempuan itu
Yang kini tersekap dalam maya pikirannya
Fuih!
Lelaki itu memang hanya seekor kucing jantan
Meraung-raungkan kepengecutannya
Dalam buta malam
Di sisi lain…
Dia hanya seorang perempuan yang tidak terawat
Lebih suka menyendiri
Dengan mendekap ujung-ujung lututnya
Di bawah batang leher
Jari jemari kaki gidik-gidik seirama decit rem mendadak
Atau dentum mesin tancap gas
Tak ada lagi yang bisa mengusiknya
Lemparan batu…
Celetukan anak-anak yang mengejek
Tak ditanggapinya
Bahkan, saat baju yang dikenakannya melorot
Dengan gantungan payudara, yang walaupun sudah tak setegak bukit kapur
Tapi masih kenyal…tetap tak dihiraukan
Serupa pahatan granit Aphrodite yang berkerak daki
Barangkali…
Ada duka yang dalam
Ada luka yang menganga
Tanpa torehan atau tetesan darah
Hanya gonjang-ganjing perempuan itu
Sedang menunggu seseorang
Entah siapa…
Waktu makin senyap dan menjadi dosa
Dirinya yang dulu pernah mati
Kembali menjenguk noda di atas
Dupa tanpa busana
Malam itu adalah senggama…
Tanpa tawa di ujung senja
Mata perempuan itu telah cerita
Bola mata itu berucap tanpa lirih…
Tanpa cinta
Semua berlabuh di atas darah
RItmz
(Jogjakarta, 6 Mei 2006)
Langganan:
Postingan (Atom)
PELIMA CERIA KUJANG
Di kelas, saya menghadapi peserta didik kelas tujuh yang tidak semangat dalam pembelajaran materi menulis dan menceritakan kembali cerita. K...
-
Tujuan Pembelajaran Khusus CGP dapat menjelaskan pentingnya konsep pengambilan keputusan berbasis nilai-nilai kebajikan sebagai seorang pem...
-
HALAMAN 1 Pertanyaan Pemantik : 1. Apabila kita menganggap sebuah sekolah adalah sebuah ekosistem dengan faktor biotik dan abiotik yang ada ...
-
Memasuki modul 3.1, seperti pada modul-modul sebelumnya, CGP melalui Mulai dari Diri. Dalam sebuah wawancara, Menteri Pendidikan, Kebudayaan...