Oleh: Ritmha Candra Ariesha
Senja yang basah. Hujan baru saja berhenti.
Matahari yang sendiri hampir tiba ke peraduannya. Kini Cuma semesta sunyi yang
bicara. Sesekali terdengar desir anginnya. Aku memandang sekitar dengan hati
tersayat. Jalan raya yang begitu lengang namun porak poranda, reruntuhan gedung
yang berserakan, mayat-mayat yang bergelimpangan, bau amis darah bercampur
dengan Lumpur.
Hari ini, di inti kota serambi
Mekkah, baru saja usai suatu bencana. Bencana yang menjadi pembantaian
besar-besaran dan sangat keji. Di hadapanku saja kini tergeletak puluhan jasad
tanpa nyawa. Bentuk mereka sudah tak karuan. Masya Allah…, aku sendiri heran,
mengapa aku sanggup menyaksikan semua, padahal tadinya aku adalah orang yang
tak tahan melihat setetes darah pun.
Sambil menahan geram aku berjalan
meninggalkan arena bencana itu. Aku dating di arena ini, karenaaku delegasi
dari kampus tempatku studi untuk membantu korban tsunami di Aceh ini.
Kupejamkan mata saat langkah ini terpaksa menyusuri tubuh-tubuh tak berdosa
yang kini tanpa nyawa itu. Baru beberapa langkah berjalan… kudengar ada langkah
lain dibelakangku. Dan ketika aku menoleh, kulihat seorang gadis kecil
menatapku. Ia mengenakan kerudung putih tanpa jahitan, yang diikat begitu saja di
batas leher. Gadis kecil itu masih menatapku. Dingin. Wajahnya tampak beku.
Seolah tubuh mungil itu hampa rasa.
Dengan tenang gadis kecil itu
menelusuri mayat-mayat yang ada. Kelihatannya ia mencari seseorang. Aku
memandangnya haru. Kemudian kulihat ia berjongkok di hadapan satu sosok lelaki
yang masih sangat muda. Dilepaskannya kerudung putihnya. Ia tutupi wajah mayat
itu dengan kerudung tersebut. Lalu perlahan ia bangkit, tanpa rasa takut
sedikit pun, menghampiriku.
“Hai…,” suaraku serak menyapanya.
“Siapa dia?” tanyaku pelan.
Ia diam saja, bola mata coklatnya
memandangku tanpa sinar sama sekali. Dapat kurasakan beban dukanya.
“Aku Ananta. Aku bukan orang sini,”
kataku lagi.
“Ya, tahu,” kata gadis itu datar
“Aku Aisyah, Siti Aisyah,”
sambungnya dengan suara bocah yang sangat lugu.
Aku tersenyum pada gadis kecil yang
umurnya kutaksir sekitar tujuh tahun itu. Kugenggam tangannya dan kuajak
melangkah menjauhi tempat berdarah itu. Tiba-tiba Aisyah mendekap muka dengan
kedua tangan.
“Iman… kak Iman… Ia tadinya
bersamaku. Ia membelikanku roti, tapi air besar itu dating dan…”, tak kuasa air
mata Aisyah jatuh di pipinya.
“Bersabarlah anak manis”, kataku
berusaha menghibur, walau hatiku galau.
“Ia satu-satunya yang ada, ia
satu-satunya yang aku ketahui keberadaannya, aku tak tahu di mana orang tuaku
dan saudara-saudaraku yang lain.”
Aku berhenti melangkah, berjongkok
dan menghapus air mata Aisyah yang menetes satu-satu. Sementara aku pun hampir
tak mampu membendung kaca-kaca bening di mataku. Kupeluk ia kuat-kuat. Kami pun
bergandengan tangan melangkah. Kurasakan jemari mungilnya menggenggam erat
tangan ini. Hatiku pilu.
***
Siti Aisyah kubawa ke kamp
penampungan korban bencana yang dibuat oleh pemerintah. Korban-korban yang
terluka karena bencana itu ditolong di dalam kamp-kamp yang merupakan wujud
kepedulian manusia, mereka dating dari berbagai daerah yang ingin menyaksikan
sendiri dan membantu korban bencana tersebut, termasuk aku sendiri yang dating
dari jauh.
Aisyah adalah seorang gadis mungil
yang tegar. Baru beberapa hari bersamaku namun ia seolah lupa pada kejadian
yang menimpa keluarganya. Tapi ia berharap keluarganya masih hidup. Ia tak
pernah menangis lagi. Untuknya kupesankan kerudung putih berenda yang kecil
dari petugas pemasok bahan makanan dengan memakai uangku sendiri. Ia tampak
cantik memakainya. Aisyah juga suka menyanyi, dan padanya kuajarkan menggunakan
kamera yang kebetulan aku bawa untuk menggambarkan kejadian bencana kepada
semua orang yang kukenal agar mereka tahu kepedihan saudaranya yang ada di
sini. Ia suka sekali.
“Jadi kakak seorang fotografer ya?”
Tanya Aisyah suatu hari sebelum kami tidur.
Aku menggelengkan kepala.
“Entahlah, kakak hanya seorang
mahasiswa yang ingin belajar mendalami sesuatu. Tapi, bukan seorang fotografer”,
paparku pada Aisyah.
“Aku juga ingin belajar kak”, tandas
Aisyah dengan semangat.
“Pasti itu anak manis… Kamu pasti
bisa belajar”, aku tersenyum memandangi wajah mungil yang memiliki cita-cita
besar itu.
Tapi hari-hari pun berlalu, Aisyah
sudah tak selalu menanyakan perihal diriku. Aku hidup di antara para korban
yang masih wasapada karena khawatir adanya gempa susulan dan ditambah lagi
dengan terror GAM (Gerakan Aceh Merdeka) yang selalu bergemuruh desing peluru.
Pagi, siang dan malam hari aku melihat para korban bencana tsunami ini bergelut
dengan itu semua. Aku hanya dapat membantu seperlunya, aku hanya dapat berdoa
agar semua ini cepat berakhir. Aku bukanlah Tuhan yang dapat menentukan
segalanya.
***
Isya’ telah berlalu, aku baru saja
selesai sholat, ketika kamp penampungan korban bencana didatangi oleh
orang-orang berwajah garang dan bengis. Aku melihat begitu banyak orang GAM di
sekitar tenda kamp penampungan. Beberapa di antaranya terlihat akrab dengan
kaleng dan botol minuman di tangan. Aku melihat semua korban yang terkulai di
ranjang sekenanya dari PMI menangis, anak-anak kecil menjerit-jerit ketakutan
yang menyayat hati dan tembakan beruntun. Seketika seorang berbaju loreng jatuh
bertekuk. Dia tertembak.
Mataku mencari-cari seseorang. Aisyah.
Ya aisyah. Dimana Aisyah berada. Kuambil
pisau dari peralatan PMI. Aku mencari Aisyah. Perlahan aku berjalan agar tidak
memancing perhatian orang GAM. Sesaat mataku tertuju pada gadis kecilyang
bersembunyidi balik lorong meja. Dengan langkah hati-hati aku menuju meja itu.
Kuperintahkan Aisyah agar tetap di tempat. Aku menutupi meja itu. Kuperintahkan
Aisyah agar tetap di tempat. Aku menutupi meja itu dengan badanku. Seorang
pemuda berjalan menghampiriku. Degup jantungku sekonyong-konyong berdegup kencang.
Aku refleks menangkisketika tangan seorang pemuda GAM mencoba menyentuh
wajahku. Pemuda itu sempat marah, tetapi kemudian terkekeh-kekeh. Kemudian,
pemuda itu berlalu begitu saja. Aku tak mengerti, mungkin dia sedang mabuk. Aku
menarik napas panjang dan mencoba menata kembali degup jantung ini.
Tiba-tiba rentetatn tembakan
berdesing. Teriakan kematian memenuhi udara. Orang-orang GAM tersebut menyeret
beberapa wanita keluar dari kamp dan memaksa sosok-sosok lemah itu melayani
mereka.
“Tolooooooong! Toooolooooong!!!” Aku
berteriak sekeras-kerasnya berharap ada tentara TNI yang mendengar. Tetapi
tangan-tangan yang mencengkeramku lebih kuat. Aku diseret ke semak-semak dekat
kamp. Aku melihat Aisyah menatapku dengan tangis, semoga Aisyah aman. Aku
sempat melihat betapa jumlah pemberontak ini sangat banyak. Ah, aku merasakan
tubuhku begitu lemah. Semakin lemah. Darah mengalir dari luka-luka libasan
orang-orang kejam itu.
Tiba-tiba,
saat keadaan semakin kritis, aku melihat dua pria yang muncul di belakang ketiga
orang bajingan yang berusaha memperkosaku. Ah, orang-orang biadab! Betapa
banyak jumlah mereka, pikirku. Tetapi, aku terkejut! Mata nanarku sesaat
melihat dua orang berbaju loreng itu justru menembak para pemberontak.
Hari semakin senja…
Aku merasa sudah hamper pingsan kala
mataku menatap dua pemuda yang perlahan dan hati-hati merunduk-runduk
memapahku, menjauhi daerah itu.
“Ka…li…an… ten…ta…ra…
pe…me…rin…tah?” tanyaku tanpa tenaga.
“Ya, kami TNI”, jawab salah satu
dari mereka.
Tiba-tiba aku merasa tubuhku
melayang, ringan sekali. Aku pingsan.
***
Ketika siuman, aku mendapati diriku
berada di kamp penampungan. Aku melihat Aisyah telah berada di samping ranjang
tempat aku berbaring. Syukurlah kamu tidak apa-apa anak manis. Aisyah
tersenyum.
“Kakak sudah baikan?”, Tanya Aisyah
dengan suara lugu.
Aku
menyukai suara itu. Aku teringat dengan adikku yang tinggal di asalku. Aku
terbayang sejenak tempat tinggalku. Ya, aku sudah lama berada di tempat ini, 2
bulan. Lama juga ya. Aku tak terasa, aku sudah lama meminta ijin cuti kuliah
untuk jadi sukarelawan di Aceh. Tempat ini. Hanya karena aku melihat tayangan
di televise. Aku mendadak ingin sekali ke tempat ini. Dan kebetulan di kampusku
menyediakan transportasi dan akomodasi untuk pergi ke tempat ini untuk menjadi
sukarelawan. Entah mengapa.
“Kak…”, panggilan Aisyah membuatku
membuyarkan lamunan.
“Kakak masih sakit ya? Atau pusing?
Aisyah panggilkan perawat ya?” beruntun pertanyaan Aisyah membuatku melontarkan
senyum.
“Kakak tidak apa-apa anak manis…”,
jawabku.
***
Malam mengelam. Mendekap batu merah
dengan segala kegalauan. Gerimis turun menyapa sunyi. Kupandangi gadis kecil di
hadapanku sekali lagi. Wajah manisnya menyembul dari kerudung putih
pemberianku.
“Kakak kenapa?” Tanya Aisyah.
“Kamu cantik ya memakai kerudung
itu?, aku mencubit pipi Aisyah gemas.
“Kerudungnya yang bagus kak”, balas
Aisyah dengan senyumnya yang menampakkan lesung pipitnya yang dalam. Manis
sekali.
“anak manis… sepertinya, tak akan
lama lagi kakak akan kembali ke tempat tinggal kakak di Jawa”, ucapku lirih.
Aisyah menatapku, tak lama kemudian
Aisyah berhambur ke pelukanku.
“Kakak jahat. Kata kakak, kakak
menyayangi Aisyah? Kok pergi meninggalkan Aisyah?” tangis Aisyah tak terbendung
lagi di pelukanku.
“ Anak manis… kakak di Jawa masih
punya keluarga yang menantikan kehadiran kakak. Kakak percaya, Aisyah juga akan
menemukan keluarga yang membuat Aisyah bahagia”, ucapku pada Aisyah.
***
Setelah malam itu, Aisyah jarang
menemuiku. Aisyah lebih senang bermain dengan teman-teman seusianya di sekitar
kamp. Mungkin itu lebih baik. Jika Aisyah tetap lengket denganku tiap hari, itu
akan membuat dia tambah sedih. Yang sedih tidak hanya Aisyah. Aku juga akan
tidak tega meninggalkan dia pulang. Mengingat kembali, aku sudah mengalami banyak
hal di sini. Aku mulai terbiasa dengan tempat ini. Tempat ini tidak akan
terlupakan buatku.
***
Kata kepala pengelola posko korban
bencana tsunami padaku tadi pagi, akan ada banyak orang yang dating dari Jawa
untuk memberikan bantuan. Katanya juga, mungkin ada beberapa artis yang dating
untuk memberikan bantuan langsung pada korban bencana.
Aku heran pada mereka para artis.
Bisa-bisanya mencari sensasi pada penderitaan orang-orang korban bencana. Para
korban sih senang-senang saja mendapat bantuan, tapi mereka tidak tahu. Mereka
hanya digunakan sebagai alat untuk lebih mendompleng kepopularitas para artis
tersebut saja. Ah, entahlah. Tapi aku, tetap bersyukur. Minimal para korban di
sini mendapatkan sedikit hiburan dengan kedatangan artis tersebut.
Hari itu, seperti biasanya, Aisyah
bermain-main dengan teman sebayanya di sekitar kamp. Aku melihatnya, dia
terlihat bahagia. Aku tersenyum. Kemudian tak lama, para rombongan pemberi
bantuan dating. Seperti biasa, orang yang mungkin dapat dikatakan sebagai bosnya
rombongan pemberi bantuan berceramah ini dan itu. Para anak-anak yang sedang
asik bermain menjadi tertarik, karena adanya sang artis. Bergerombol mereka
berdesak-desakkan ingin melihat dengan dekat wajah sang artis. Untung-untung
dapat mencolek sedikit tangannya.
Aku melihat salah seorang artis yang
lumayan terkenal, terus saja memandangi Aisyah yang sedari tadi melihat saja
dari kejauhan. Sang artis memanggilnya. Diamatinya Aisyah dengan seksama.
Mungkin berbeda dengan anak-anak lain yang kumal dan kotor. Tapi karena Aisyah
juga tampak manis dengan kerudung putih pemberianku. Kemudian, sang artis
tampak membisikkan sesuatu pada pengelola posko. Kepala pengelola posko sejenak
melihat Aisyah yang sudah berada dekat dengan sang artis karena dipanggilnya tadi.
Aisyah hanya diam. Kemudian kepala posko mengatakan pada para korban, kalau
sang artis akan mengadopsi Aisyah. Aku kaget. Sejenak aku tertegun di tengah
kemeriahan tepuk tangan para korban. Alhamdulillah… akhirnya Aisyah mendapatkan
kembali keluarga yang diharapkannya.
Tampak dari kejauhan, Aisyah hanya
menatapku. Sekilas dia tersenyum padaku. Syukurlah, mungkin dengan itu aku agak
tenang saat akan kembali pulang besok.
***
Esoknya, Aisyah pamit padaku. Dia
akan turut serta sang artis pulang ke Jakarta. Aku hanya dapat berdoa, berharap
dia tidak akan disia-siakan sang artis. Semoga sang artis tidak hanya mencari
sensasi di infotaiment karena telah mengadopsi anak dari korban bencana tsunami
di Aceh. Semoga Aisyah terjamin sekolahnya, kesehatannya, dan kebutuhan
lain-lainnya.
“Kak,akhirnya kita akan berpisah…”,
tangis Aisyah menderai lagi.
Aku peluk Aisyah dengan erat. Aku
merasa akan kehilangan sesuatu.
“tidak anak manis… kakak akan
memberikan alamat kakak di Jawa, saat kau di rumah keluargamu yang baru, Aisyah
bias mengirim surat pada kakak. Dan jika kakak ada waktu, kakak akan
mengunjungi Aisyah di Jakarta”, kataku.
Aku merasakan mataku sudah basah
dengan air mata. Aku membasuh air mata di pipi Aisyah.
“Anak manis jangan menangis lagi ya?
Itu bukan seperti Aisyah yang kakak kenal. Aisyah yang kakak kenal adalah anak
yang tabah dan penuh semangat. Oke anak manis?” kataku.
Kupotret wajah Aisyah yang bening
dan tampak sedih. Berulang kali ia mengusap air matanya yang menetes di pipi.
Aisyah melambaikan tangan padaku, aku tak kuasa menahan tangis ini. Mungkin ini
memang sudah jalan Tuhan. Aku dipertemukan oleh Aisyah hanya untuk mengenal
keluguan dan kepolosannya. Aku menyayangi Aisyah seperti adikku sendiri. Aisyah
yang biasa aku panggil dengan sebutan anak manis telah pergi. Mungkinkah aku
dapat bertemu dia lagi?
Aceh, senja hari. Di bawah sebatang
pohon besar dan kokoh yang tidak ikut terhempas oleh tsunami aku berteduh. Ahh,
penat sekali rasanya ditinggalkan oleh orang yang kita sayangi. Kutatap langit
Aceh yang bersih. Aku merasa angina kota Aceh ini terus mendekapku galau.
Bayangan Aisyah hilir mudik melintasi relung batin dan pikiranku. Ya, Aisyah…
Tuhan… bisikku berurai air mata.
Kudekap erat-erat kamera yang selama
ini menemaniku di kota ini. Aku berhasil meliput kota Aceh ini yang sudah
hancur rata dengan tanah. Dan mungkin sudah saatnya aku kembali ke kampong
halamanku. Tapi sungguh, aku akan lebih senang bila selamanya aku berada di
kota ini. Walau harus menatap pemandangan puluhan jasad-jasad tak bernyawa,
bau-bau anyir mayat, dan terror pemberontak orang-orang GAM, itu semua aku
hadapi dengan tenang. Aku merasa seperti orang asli kota ini. Namun, mau apa
lagi? Aku masih punya keluarga, aku masih memiliki tanggung jawab. Ah… Aceh…
Kepala
pengelola posko korban bencana menjabat tanganku erat. Aku mengangguk mantap.
Perpisahan dengan teman-teman sesama sukarelawan ini memerihkan hatiku. Tetapi
aku harus kembali. Itulah hikmah Tuhan yang memberiku keinginan untuk berada di
sini, ke tengah-tengah para korban bencana. Agar aku melihat, merasakan,
kemudian mengabarkan penderitaan mereka.
Berat bagiku untuk pergi. Tetapi
sesampai di bandara kota Aceh kumantapkan kakiku. Aku baru saja melangkah kai
ke atas pesawat milik TNI AU, aku duduk dekat jendela. Kumenatap menerawang
jauh… kota ini… Aisyah… Senja…selamat tinggal.
***
Sampai di bandara TNI AU kota Malang
tempat tinggalku. Hembusan angina kencang yang membawa debu-debu beterbangan
terasa garang menerpa tubuhku. Uh, letih sekali. Aku menggeliat sesaat…, mataku
terbelalak lebar ketika kusadari kini aku berada. Aku bernapas lega. Akhirnya
aku sampai di kota kelahiranku lagi. Senikmat-nikmatnya negeri orang ternyata
masih terasa sangat nikmat dbahagia di kampong halaman sendiri.
Aku mencoba mengingat apa yang
terjadi di saat mencetak hasil jepretanku dengan hitam putih di kamar gelapku
yang aku setting sendiri di pojok rumahku. Foto-foto ini kembali membawaku ke
baying-bayang kota Aceh. Kenanganku yang tidak akan aku lupakan.
Aku bangkit. Kumeraba, mencoba
membuka laci. Tidak lama kemudia tanganku menemukan sesuatu yang aku cari.
Kukeluarkan radio kecil. Kuputar gelombangnya…, tidak jelas suaranya.
Kuputar-putar lagi…, kutepuk-tepuk dengan telapak tanganku. Ah! Kubanting radio
rusak dan tak berguna itu. Aku melanjutkan kembali mencetak foto hitam putihku.
Saat kertas foto itu aku masukkan ke cairan obat developer lamat-lamat
tampak sosok mungil yang tidak asing lagi pada kertas foto. Setelah gambar yang
ada di kertas nampak jelas sepenuhnya , aku taruh di iar air bak, stelah netral
aku jepit foto di gantungan. Kunyalakan lampu kamar gelap. Kuamati foto itu
dengan seksama. Tak berasa aku larut kembali dalam baying-bayang Aisyah yang
polos. Ah… Aisyah… bagaimana kabarmu anak manis?
Kupandangi semua hasil foto yang aku
cetak dengan ukuran 12R yang terbingkai manis di dinding-dinding galeri
pameran. Tapi, makna dalam foto-foto itu tidak semanis bingkainya. Akku sukses
menggelar pameran yang bertajuk bencana tsunami Serambi Mekkah. Aku puas dengan
hasil karyaku. Banyak relasi-relasi fotografer amatir yang memuji keberanianku
mengabadikan semua itu. Tapi sebenarnya, jauh di sudut hatiku aku miris melihat
foto-foto itu. Serambi Mekkah, sebuah kota yang tak akan aku lupakan senjanya
yang begitu indah.
***
Siang hari, ketika pintu kamarku
perlahan terbuka. Dengan menahan nafas, tersembul wajah mungil adikku Nia
dengan senyum manisnya.
“Kak, ada surat buat kakak. Tapi
tulisannya kok seperti tulisan Nia ya kak? Hehehehehe teman kakak masih SD ya?”
ucap Nia polos.
Aku tersenyum padanya. Aku raih
amplop surat yang ada di tangannya. Aku lihat nama pengirimnya. “Dari si Anak
Manis Aisyah”. Kupandangi Nia. Sesaat wajah Nia sekilas seperti Aisyah.
Sama-sama polos dan… memiliki senja yang begitu indah di hatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar