11.07.2015

Senja di Hati Aisyah

Oleh: Ritmha Candra Ariesha
Senja yang basah. Hujan baru saja berhenti. Matahari yang sendiri hampir tiba ke peraduannya. Kini Cuma semesta sunyi yang bicara. Sesekali terdengar desir anginnya. Aku memandang sekitar dengan hati tersayat. Jalan raya yang begitu lengang namun porak poranda, reruntuhan gedung yang berserakan, mayat-mayat yang bergelimpangan, bau amis darah bercampur dengan Lumpur.
            Hari ini, di inti kota serambi Mekkah, baru saja usai suatu bencana. Bencana yang menjadi pembantaian besar-besaran dan sangat keji. Di hadapanku saja kini tergeletak puluhan jasad tanpa nyawa. Bentuk mereka sudah tak karuan. Masya Allah…, aku sendiri heran, mengapa aku sanggup menyaksikan semua, padahal tadinya aku adalah orang yang tak tahan melihat setetes darah pun.
            Sambil menahan geram aku berjalan meninggalkan arena bencana itu. Aku dating di arena ini, karenaaku delegasi dari kampus tempatku studi untuk membantu korban tsunami di Aceh ini. Kupejamkan mata saat langkah ini terpaksa menyusuri tubuh-tubuh tak berdosa yang kini tanpa nyawa itu. Baru beberapa langkah berjalan… kudengar ada langkah lain dibelakangku. Dan ketika aku menoleh, kulihat seorang gadis kecil menatapku. Ia mengenakan kerudung putih tanpa jahitan, yang diikat begitu saja di batas leher. Gadis kecil itu masih menatapku. Dingin. Wajahnya tampak beku. Seolah tubuh mungil itu hampa rasa.
            Dengan tenang gadis kecil itu menelusuri mayat-mayat yang ada. Kelihatannya ia mencari seseorang. Aku memandangnya haru. Kemudian kulihat ia berjongkok di hadapan satu sosok lelaki yang masih sangat muda. Dilepaskannya kerudung putihnya. Ia tutupi wajah mayat itu dengan kerudung tersebut. Lalu perlahan ia bangkit, tanpa rasa takut sedikit pun, menghampiriku.
            “Hai…,” suaraku serak menyapanya.
            “Siapa dia?” tanyaku pelan.
            Ia diam saja, bola mata coklatnya memandangku tanpa sinar sama sekali. Dapat kurasakan beban dukanya.
            “Aku Ananta. Aku bukan orang sini,” kataku lagi.
            “Ya, tahu,” kata gadis itu datar
            “Aku Aisyah, Siti Aisyah,” sambungnya dengan suara bocah yang sangat lugu.
            Aku tersenyum pada gadis kecil yang umurnya kutaksir sekitar tujuh tahun itu. Kugenggam tangannya dan kuajak melangkah menjauhi tempat berdarah itu. Tiba-tiba Aisyah mendekap muka dengan kedua tangan.
            “Iman… kak Iman… Ia tadinya bersamaku. Ia membelikanku roti, tapi air besar itu dating dan…”, tak kuasa air mata Aisyah jatuh di pipinya.
            “Bersabarlah anak manis”, kataku berusaha menghibur, walau hatiku galau.
            “Ia satu-satunya yang ada, ia satu-satunya yang aku ketahui keberadaannya, aku tak tahu di mana orang tuaku dan saudara-saudaraku yang lain.”
            Aku berhenti melangkah, berjongkok dan menghapus air mata Aisyah yang menetes satu-satu. Sementara aku pun hampir tak mampu membendung kaca-kaca bening di mataku. Kupeluk ia kuat-kuat. Kami pun bergandengan tangan melangkah. Kurasakan jemari mungilnya menggenggam erat tangan ini. Hatiku pilu.
***
            Siti Aisyah kubawa ke kamp penampungan korban bencana yang dibuat oleh pemerintah. Korban-korban yang terluka karena bencana itu ditolong di dalam kamp-kamp yang merupakan wujud kepedulian manusia, mereka dating dari berbagai daerah yang ingin menyaksikan sendiri dan membantu korban bencana tersebut, termasuk aku sendiri yang dating dari jauh.
            Aisyah adalah seorang gadis mungil yang tegar. Baru beberapa hari bersamaku namun ia seolah lupa pada kejadian yang menimpa keluarganya. Tapi ia berharap keluarganya masih hidup. Ia tak pernah menangis lagi. Untuknya kupesankan kerudung putih berenda yang kecil dari petugas pemasok bahan makanan dengan memakai uangku sendiri. Ia tampak cantik memakainya. Aisyah juga suka menyanyi, dan padanya kuajarkan menggunakan kamera yang kebetulan aku bawa untuk menggambarkan kejadian bencana kepada semua orang yang kukenal agar mereka tahu kepedihan saudaranya yang ada di sini. Ia suka sekali.
            “Jadi kakak seorang fotografer ya?” Tanya Aisyah suatu hari sebelum kami tidur.
            Aku menggelengkan kepala.
            “Entahlah, kakak hanya seorang mahasiswa yang ingin belajar mendalami sesuatu. Tapi, bukan seorang fotografer”, paparku pada Aisyah.
            “Aku juga ingin belajar kak”, tandas Aisyah dengan semangat.
            “Pasti itu anak manis… Kamu pasti bisa belajar”, aku tersenyum memandangi wajah mungil yang memiliki cita-cita besar itu.
            Tapi hari-hari pun berlalu, Aisyah sudah tak selalu menanyakan perihal diriku. Aku hidup di antara para korban yang masih wasapada karena khawatir adanya gempa susulan dan ditambah lagi dengan terror GAM (Gerakan Aceh Merdeka) yang selalu bergemuruh desing peluru. Pagi, siang dan malam hari aku melihat para korban bencana tsunami ini bergelut dengan itu semua. Aku hanya dapat membantu seperlunya, aku hanya dapat berdoa agar semua ini cepat berakhir. Aku bukanlah Tuhan yang dapat menentukan segalanya.
***
            Isya’ telah berlalu, aku baru saja selesai sholat, ketika kamp penampungan korban bencana didatangi oleh orang-orang berwajah garang dan bengis. Aku melihat begitu banyak orang GAM di sekitar tenda kamp penampungan. Beberapa di antaranya terlihat akrab dengan kaleng dan botol minuman di tangan. Aku melihat semua korban yang terkulai di ranjang sekenanya dari PMI menangis, anak-anak kecil menjerit-jerit ketakutan yang menyayat hati dan tembakan beruntun. Seketika seorang berbaju loreng jatuh bertekuk. Dia tertembak.
            Mataku mencari-cari seseorang. Aisyah. Ya  aisyah. Dimana Aisyah berada. Kuambil pisau dari peralatan PMI. Aku mencari Aisyah. Perlahan aku berjalan agar tidak memancing perhatian orang GAM. Sesaat mataku tertuju pada gadis kecilyang bersembunyidi balik lorong meja. Dengan langkah hati-hati aku menuju meja itu. Kuperintahkan Aisyah agar tetap di tempat. Aku menutupi meja itu. Kuperintahkan Aisyah agar tetap di tempat. Aku menutupi meja itu dengan badanku. Seorang pemuda berjalan menghampiriku. Degup jantungku sekonyong-konyong berdegup kencang. Aku refleks menangkisketika tangan seorang pemuda GAM mencoba menyentuh wajahku. Pemuda itu sempat marah, tetapi kemudian terkekeh-kekeh. Kemudian, pemuda itu berlalu begitu saja. Aku tak mengerti, mungkin dia sedang mabuk. Aku menarik napas panjang dan mencoba menata kembali degup jantung ini.
            Tiba-tiba rentetatn tembakan berdesing. Teriakan kematian memenuhi udara. Orang-orang GAM tersebut menyeret beberapa wanita keluar dari kamp dan memaksa sosok-sosok lemah itu melayani mereka.
            “Tolooooooong! Toooolooooong!!!” Aku berteriak sekeras-kerasnya berharap ada tentara TNI yang mendengar. Tetapi tangan-tangan yang mencengkeramku lebih kuat. Aku diseret ke semak-semak dekat kamp. Aku melihat Aisyah menatapku dengan tangis, semoga Aisyah aman. Aku sempat melihat betapa jumlah pemberontak ini sangat banyak. Ah, aku merasakan tubuhku begitu lemah. Semakin lemah. Darah mengalir dari luka-luka libasan orang-orang kejam itu.
Tiba-tiba, saat keadaan semakin kritis, aku melihat dua pria yang muncul di belakang ketiga orang bajingan yang berusaha memperkosaku. Ah, orang-orang biadab! Betapa banyak jumlah mereka, pikirku. Tetapi, aku terkejut! Mata nanarku sesaat melihat dua orang berbaju loreng itu justru menembak para pemberontak.
            Hari semakin senja…
            Aku merasa sudah hamper pingsan kala mataku menatap dua pemuda yang perlahan dan hati-hati merunduk-runduk memapahku, menjauhi daerah itu.
            “Ka…li…an… ten…ta…ra… pe…me…rin…tah?” tanyaku tanpa tenaga.
            “Ya, kami TNI”, jawab salah satu dari mereka.
            Tiba-tiba aku merasa tubuhku melayang, ringan sekali. Aku pingsan.
***
            Ketika siuman, aku mendapati diriku berada di kamp penampungan. Aku melihat Aisyah telah berada di samping ranjang tempat aku berbaring. Syukurlah kamu tidak apa-apa anak manis. Aisyah tersenyum.
            “Kakak sudah baikan?”, Tanya Aisyah dengan suara lugu.
Aku menyukai suara itu. Aku teringat dengan adikku yang tinggal di asalku. Aku terbayang sejenak tempat tinggalku. Ya, aku sudah lama berada di tempat ini, 2 bulan. Lama juga ya. Aku tak terasa, aku sudah lama meminta ijin cuti kuliah untuk jadi sukarelawan di Aceh. Tempat ini. Hanya karena aku melihat tayangan di televise. Aku mendadak ingin sekali ke tempat ini. Dan kebetulan di kampusku menyediakan transportasi dan akomodasi untuk pergi ke tempat ini untuk menjadi sukarelawan. Entah mengapa.
            “Kak…”, panggilan Aisyah membuatku membuyarkan lamunan.
            “Kakak masih sakit ya? Atau pusing? Aisyah panggilkan perawat ya?” beruntun pertanyaan Aisyah membuatku melontarkan senyum.
            “Kakak tidak apa-apa anak manis…”, jawabku.
***
            Malam mengelam. Mendekap batu merah dengan segala kegalauan. Gerimis turun menyapa sunyi. Kupandangi gadis kecil di hadapanku sekali lagi. Wajah manisnya menyembul dari kerudung putih pemberianku.
            “Kakak kenapa?” Tanya Aisyah.
            “Kamu cantik ya memakai kerudung itu?, aku mencubit pipi Aisyah gemas.
            “Kerudungnya yang bagus kak”, balas Aisyah dengan senyumnya yang menampakkan lesung pipitnya yang dalam. Manis sekali.
            “anak manis… sepertinya, tak akan lama lagi kakak akan kembali ke tempat tinggal kakak di Jawa”, ucapku lirih.
            Aisyah menatapku, tak lama kemudian Aisyah berhambur ke pelukanku.
            “Kakak jahat. Kata kakak, kakak menyayangi Aisyah? Kok pergi meninggalkan Aisyah?” tangis Aisyah tak terbendung lagi di pelukanku.
            “ Anak manis… kakak di Jawa masih punya keluarga yang menantikan kehadiran kakak. Kakak percaya, Aisyah juga akan menemukan keluarga yang membuat Aisyah bahagia”, ucapku pada Aisyah.
***
            Setelah malam itu, Aisyah jarang menemuiku. Aisyah lebih senang bermain dengan teman-teman seusianya di sekitar kamp. Mungkin itu lebih baik. Jika Aisyah tetap lengket denganku tiap hari, itu akan membuat dia tambah sedih. Yang sedih tidak hanya Aisyah. Aku juga akan tidak tega meninggalkan dia pulang. Mengingat kembali, aku sudah mengalami banyak hal di sini. Aku mulai terbiasa dengan tempat ini. Tempat ini tidak akan terlupakan buatku.
***
            Kata kepala pengelola posko korban bencana tsunami padaku tadi pagi, akan ada banyak orang yang dating dari Jawa untuk memberikan bantuan. Katanya juga, mungkin ada beberapa artis yang dating untuk memberikan bantuan langsung pada korban bencana.
            Aku heran pada mereka para artis. Bisa-bisanya mencari sensasi pada penderitaan orang-orang korban bencana. Para korban sih senang-senang saja mendapat bantuan, tapi mereka tidak tahu. Mereka hanya digunakan sebagai alat untuk lebih mendompleng kepopularitas para artis tersebut saja. Ah, entahlah. Tapi aku, tetap bersyukur. Minimal para korban di sini mendapatkan sedikit hiburan dengan kedatangan artis tersebut.
            Hari itu, seperti biasanya, Aisyah bermain-main dengan teman sebayanya di sekitar kamp. Aku melihatnya, dia terlihat bahagia. Aku tersenyum. Kemudian tak lama, para rombongan pemberi bantuan dating. Seperti biasa, orang yang mungkin dapat dikatakan sebagai bosnya rombongan pemberi bantuan berceramah ini dan itu. Para anak-anak yang sedang asik bermain menjadi tertarik, karena adanya sang artis. Bergerombol mereka berdesak-desakkan ingin melihat dengan dekat wajah sang artis. Untung-untung dapat mencolek sedikit tangannya.
            Aku melihat salah seorang artis yang lumayan terkenal, terus saja memandangi Aisyah yang sedari tadi melihat saja dari kejauhan. Sang artis memanggilnya. Diamatinya Aisyah dengan seksama. Mungkin berbeda dengan anak-anak lain yang kumal dan kotor. Tapi karena Aisyah juga tampak manis dengan kerudung putih pemberianku. Kemudian, sang artis tampak membisikkan sesuatu pada pengelola posko. Kepala pengelola posko sejenak melihat Aisyah yang sudah berada dekat dengan sang artis karena dipanggilnya tadi. Aisyah hanya diam. Kemudian kepala posko mengatakan pada para korban, kalau sang artis akan mengadopsi Aisyah. Aku kaget. Sejenak aku tertegun di tengah kemeriahan tepuk tangan para korban. Alhamdulillah… akhirnya Aisyah mendapatkan kembali keluarga yang diharapkannya.
            Tampak dari kejauhan, Aisyah hanya menatapku. Sekilas dia tersenyum padaku. Syukurlah, mungkin dengan itu aku agak tenang saat akan kembali pulang besok.
***
            Esoknya, Aisyah pamit padaku. Dia akan turut serta sang artis pulang ke Jakarta. Aku hanya dapat berdoa, berharap dia tidak akan disia-siakan sang artis. Semoga sang artis tidak hanya mencari sensasi di infotaiment karena telah mengadopsi anak dari korban bencana tsunami di Aceh. Semoga Aisyah terjamin sekolahnya, kesehatannya, dan kebutuhan lain-lainnya.
            “Kak,akhirnya kita akan berpisah…”, tangis Aisyah menderai lagi.
            Aku peluk Aisyah dengan erat. Aku merasa akan kehilangan sesuatu.
            “tidak anak manis… kakak akan memberikan alamat kakak di Jawa, saat kau di rumah keluargamu yang baru, Aisyah bias mengirim surat pada kakak. Dan jika kakak ada waktu, kakak akan mengunjungi Aisyah di Jakarta”, kataku.
            Aku merasakan mataku sudah basah dengan air mata. Aku membasuh air mata di pipi Aisyah.
            “Anak manis jangan menangis lagi ya? Itu bukan seperti Aisyah yang kakak kenal. Aisyah yang kakak kenal adalah anak yang tabah dan penuh semangat. Oke anak manis?” kataku.
            Kupotret wajah Aisyah yang bening dan tampak sedih. Berulang kali ia mengusap air matanya yang menetes di pipi. Aisyah melambaikan tangan padaku, aku tak kuasa menahan tangis ini. Mungkin ini memang sudah jalan Tuhan. Aku dipertemukan oleh Aisyah hanya untuk mengenal keluguan dan kepolosannya. Aku menyayangi Aisyah seperti adikku sendiri. Aisyah yang biasa aku panggil dengan sebutan anak manis telah pergi. Mungkinkah aku dapat bertemu dia lagi?
            Aceh, senja hari. Di bawah sebatang pohon besar dan kokoh yang tidak ikut terhempas oleh tsunami aku berteduh. Ahh, penat sekali rasanya ditinggalkan oleh orang yang kita sayangi. Kutatap langit Aceh yang bersih. Aku merasa angina kota Aceh ini terus mendekapku galau. Bayangan Aisyah hilir mudik melintasi relung batin dan pikiranku. Ya, Aisyah… Tuhan… bisikku berurai air mata.
            Kudekap erat-erat kamera yang selama ini menemaniku di kota ini. Aku berhasil meliput kota Aceh ini yang sudah hancur rata dengan tanah. Dan mungkin sudah saatnya aku kembali ke kampong halamanku. Tapi sungguh, aku akan lebih senang bila selamanya aku berada di kota ini. Walau harus menatap pemandangan puluhan jasad-jasad tak bernyawa, bau-bau anyir mayat, dan terror pemberontak orang-orang GAM, itu semua aku hadapi dengan tenang. Aku merasa seperti orang asli kota ini. Namun, mau apa lagi? Aku masih punya keluarga, aku masih memiliki tanggung jawab. Ah… Aceh…
            Kepala pengelola posko korban bencana menjabat tanganku erat. Aku mengangguk mantap. Perpisahan dengan teman-teman sesama sukarelawan ini memerihkan hatiku. Tetapi aku harus kembali. Itulah hikmah Tuhan yang memberiku keinginan untuk berada di sini, ke tengah-tengah para korban bencana. Agar aku melihat, merasakan, kemudian mengabarkan penderitaan mereka.
            Berat bagiku untuk pergi. Tetapi sesampai di bandara kota Aceh kumantapkan kakiku. Aku baru saja melangkah kai ke atas pesawat milik TNI AU, aku duduk dekat jendela. Kumenatap menerawang jauh… kota ini… Aisyah… Senja…selamat tinggal.
***
            Sampai di bandara TNI AU kota Malang tempat tinggalku. Hembusan angina kencang yang membawa debu-debu beterbangan terasa garang menerpa tubuhku. Uh, letih sekali. Aku menggeliat sesaat…, mataku terbelalak lebar ketika kusadari kini aku berada. Aku bernapas lega. Akhirnya aku sampai di kota kelahiranku lagi. Senikmat-nikmatnya negeri orang ternyata masih terasa sangat nikmat dbahagia di kampong halaman sendiri.
            Aku mencoba mengingat apa yang terjadi di saat mencetak hasil jepretanku dengan hitam putih di kamar gelapku yang aku setting sendiri di pojok rumahku. Foto-foto ini kembali membawaku ke baying-bayang kota Aceh. Kenanganku yang tidak akan aku lupakan.
            Aku bangkit. Kumeraba, mencoba membuka laci. Tidak lama kemudia tanganku menemukan sesuatu yang aku cari. Kukeluarkan radio kecil. Kuputar gelombangnya…, tidak jelas suaranya. Kuputar-putar lagi…, kutepuk-tepuk dengan telapak tanganku. Ah! Kubanting radio rusak dan tak berguna itu. Aku melanjutkan kembali mencetak foto hitam putihku. Saat kertas foto itu aku masukkan ke cairan obat developer lamat-lamat tampak sosok mungil yang tidak asing lagi pada kertas foto. Setelah gambar yang ada di kertas nampak jelas sepenuhnya , aku taruh di iar air bak, stelah netral aku jepit foto di gantungan. Kunyalakan lampu kamar gelap. Kuamati foto itu dengan seksama. Tak berasa aku larut kembali dalam baying-bayang Aisyah yang polos. Ah… Aisyah… bagaimana kabarmu anak manis?
            Kupandangi semua hasil foto yang aku cetak dengan ukuran 12R yang terbingkai manis di dinding-dinding galeri pameran. Tapi, makna dalam foto-foto itu tidak semanis bingkainya. Akku sukses menggelar pameran yang bertajuk bencana tsunami Serambi Mekkah. Aku puas dengan hasil karyaku. Banyak relasi-relasi fotografer amatir yang memuji keberanianku mengabadikan semua itu. Tapi sebenarnya, jauh di sudut hatiku aku miris melihat foto-foto itu. Serambi Mekkah, sebuah kota yang tak akan aku lupakan senjanya yang begitu indah.
***
            Siang hari, ketika pintu kamarku perlahan terbuka. Dengan menahan nafas, tersembul wajah mungil adikku Nia dengan senyum manisnya.
            “Kak, ada surat buat kakak. Tapi tulisannya kok seperti tulisan Nia ya kak? Hehehehehe teman kakak masih SD ya?” ucap Nia polos.
            Aku tersenyum padanya. Aku raih amplop surat yang ada di tangannya. Aku lihat nama pengirimnya. “Dari si Anak Manis Aisyah”. Kupandangi Nia. Sesaat wajah Nia sekilas seperti Aisyah. Sama-sama polos dan… memiliki senja yang begitu indah di hatinya.

PELIMA CERIA KUJANG

Di kelas, saya menghadapi peserta didik kelas tujuh yang tidak semangat dalam pembelajaran materi menulis dan menceritakan kembali cerita. K...