Umbung adalah Berkumpulnya orang-orang dan saling bantu serta dalam suasana kegembiraan untuk mewujudkan sebuah hajatan besar atau pesta. Kutei berarti yang pada dasarnya memiliki makna sebuah dusun induk atau pusat marga yang menjadi simpul dusun-dusun dengan orang-orangnya yang memiliki pertalian darah. Di Kepahiang ada dua kutei, yakni Kutei orang-orang bermarga Merigi dan Kutei orang-orang bermarga Bermani Ilir.
Sehingga, Umbung Kutei memiliki makna Berkumpulnya segenap orang-orang Marga Merigi dan Marga Bermani Ilir atas dasar pertalian kehendak, cita-cita yang sama dan semangat gotong royong untuk mewujudkan sebuah hajatan budaya yang penuh dengan kegembiraan dan akan selalu dikenang.
NJAMEU KUTEI adalah perjamuan kutei sebgai perjamuan besar dan lengkap yang dihadiri segenap pemimpin kutei dan masyarakat.
PENEI
Dasar penei adalah sebuah bingkai bambu sebagai wadah atau tempat mengikat alat-alat upacara. Penoi dibuat saat bekejei, hari panen atau menyambut tamu agung.
Penei adalah: Lambang kutei atau petulai, sebagai pernyataan kesatuan manusia Rejang dengan alam. Penoi diwujudkan dalam bentuk karangan-bunga besar yang berisi rangkaian hasil-hasil ladang, peralatan kerja, peralatan rumah tangga dan senjata. Benda terpenting di penoi adalah:
1. Padi dengan tangkainya
2. Jawet dengan tangkainya
3. Sirih dengan tangkainya
4. Tebu hitam dengan daunnya
5. Kelapa dengan tandannya
6. Peralatan rumah tangga
7. Alat pemotong dan penetak (rudus)
8. Alat pemotong dan penyerut (sewar)
9. Dua batang tombak
10. Payung
Upacara Kejei merupakan salah satu upacara terbesar masyarakat Rejang, yang diwarnai dengan pemotongan kerbau, kambing, dan sapi. Upaca Kejei sendiri merupakan acara adat yang diselenggarakan cukup lama, mulai dari 3 hari, 15 hari, 3 bulang, hingga 9 bulan. Dengan demikian, Tari Kejei dianggap sakral dan diyakini mengandung nilai dan makna tersendiri bagi masyarakat Suku Rejang. Tari Kejei diyakini sudah ada sejak sebelum era Kerajaan Majapahit. Konon tarian ini pertama kali dipentaskan dalam pernikahan Putri Senggang dan Biku Bermano. Namun dari keterangan sejarah, Tari Kejei pertama kali dilaporkan oleh seorang pedagang Pasee bernama Hassanuddin al-Pasee. Al-Pasee pernah berniaga ke wilayah Bengkulu sekitar tahun 1468 dan menyaksikan pementasan tarian ini.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kabupaten Kepahiang, Nining Fawely Pasju, S.Pt.MM mengapresiasi pelaksanaan kegiatan ini yang disambut baik oleh masyarakat.
“Saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak atas support dan partisipasinya dalam gelaran Festival Budaya ini. Terutama kepada masyarakat atas sambutannya yang sangat antusias untuk memeriahkan Festival Budaya ini”.
Menurutnya, itu terbukti dari jumlah masyarakat yang menonton rangkaian kegiatan Festival Budaya. “Saya lihat penontonnya ramai sekali. Mudah-mudahan ini menunjukkan kecintaan kita kepada budaya kita sendiri,” ujarnya. Dalam Festival Budaya ini tak hanya menampilkan pagelaran seni dan musik serta acara budaya lainnya, namun juga melibatkan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) Kuliner Tradisional.
“Kegiatan ini tentunya secara langsung memberikan dampak kepada kelestarian budaya kita dan juga perputaran ekonomi masyarakat. Di mana UMKM yang diberi ruang dengan baik dapat berkembang melalui event-event yang digelar pihak pemerintah maupun swasta,” tambahnya.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan pun berharap kegiatan seperti ini dapat rutin dilakukan setahun sekali. Festival Budaya ini, diramaikan pula dengan Pagelaran Seni Daerah, Pagelaran Musik , dan pagelaran Tari Kreasi Daerah dari tingkat SD, SMP, SMA maupun pagelaran seni dari sanggar-sanggar yang ada di kabupaten Kepahiang. (RCA)