3.10.2019

LITERASI SEBAGAI PEMUTAR RODA SEKOLAH CERDAS




OLEH :
RITMHA CANDRA ARIESHA, S.Pd
GURU SMP NEGERI 1 KEPAHIANG KABUPATEN KEPAHIANG

Rutinitas menjadi guru yang tiap hari datang duduk, doa, absen, berceramah dikelas, setiap hari tentu akan menjadi kebosanan dan kejenuhan. Kejenuhan yang bukan hanya dihadapin oleh guru saja tapi kejenuhan dan kebosanan bisa dirasakan oleh siswa. Hal ini akan menghambat proses kegiatan belajar mengajar disekolah.  Tentunya untuk menghilangi kebosanan dan kejenuhan, sang guru harus di tuntut kreatif. Kreatif membuat suasana kelasnya menjadi “syurga”.
Banyak cara yang bisa dilakukan untuk menghilangkan kejenuhan dan kebosanan selama di kelas. Salah satu adalah kelas Literasi atau sekolah Literasi. Bahasa sederhananya literasi adalah mengaitkan materi ajar dengan lingkungan sekitar. Misalnya materi ajar yang selama ini di kelas disajikan, dengan konsep literasi materi tersebut kita alihkan dengan melibatkan alam atau lingkungan sekitar. Materi Matematika tentang diskon, kita ajak siswa datang mengunjungi minimarket yang sedang mengadakan diskon perbelanjaan, fotosistesis pada pelajaran IPA, kita ajak siswa melihat tanaman ke kebun, materi wawancara kita ajak siswa kegiatan wawancara, dan masih banyak lagi. Namun perlu diingat antara pembelajaran literasi dengan pembelajaran praktek kelapangan berbeda. Perbedaan itu kita lihat dari cara penerapan dan perbadaan tujuan.
Negara Indonesia menempati urutan bawah dalam literasi dunia. Hal ini disebabkan karena budaya literasi masyarakatnya masih sangat rendah. Sejak 16 tahun silam, Indonesia telah ikut dalam proyek penelitian dunia untuk mengukur literasi membaca, matematika dan ilmu pengetahuan alam. Dari proyek penelitian dunia tersebut, terbukti memang Indonesia merupakan negara yang kurang daya bacanya dalam literacy purpose. Kebanyakan orang Indonesia membaca atas dasar information purpose (Aulia, 2014). Literasi adalah kemampuan hidup (life skill). Oleh karena itu, literasi merupakan kebutuhan hidup masyarakat maju. Tentu saja rendahnya literasi seseorang menghambat kemajuan hidup suatu bangsa.
Peran literasi di dunia pendidikan juga sangat besar. Semakin tinggi tingkat literasi pelajar maka akan semakin tinggi pula tingkat mutu pendidikannya. Hal ini terlihat dari perbedaan siswa yang di dalam kelasnya hanya mendapatkan pembelajaran lewat metode ceramah dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran melalui metode problem solving, diskusi atau praktik langsung. Misalnya, ketika guru hanya mengajarkan apa itu pidato, seperti apa susunan dan bagaimana teknik-teknik yang baik dalam berpidato melalui ceramah saja tentu akan berbeda jika guru mengajak siswa mengalami langsung seperti apa dan bagaimana berpidato di depan kelas. Literasi siswa yang dibimbing untuk praktik langsung jauh lebih baik dibandingkan dengan siswa yang hanya mendapatkan ilmu secara teoritis saja. Siswa yang praktik langsung mengalami proses menyimak, membaca, menulis, berbicara dan berpikir kritis. Hal ini sejalan dengan ungkapan Magnessen (dalam Silberman, 1996) bahwa “Kita belajar 10% dari apa yang kita baca, 20% dari apa yang kita dengar, 30% dari apa yang kita lihat, 50% dari apa yang kita lihat dan dengar, 70% dari apa yang kita katakan, 90% dari apa yang kita katakan dan lakukan.”
Literasi pada dasarnya mengacu pada kemampuan membaca dan menulis. Kemampuan ini juga tidak bisa dilepaskan dari kemampuan menyimak dan berbicara. Dengan demikian, literasi identik dengan kemampuan menyeluruh keterampilan berbahasa yangterdiri dari kemampuan mnyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Oleh karena itu seorang dikatakan literate (terdidik) apabila ia menguasai keempat keterampilan berbahasa. Dan keempat keterampilan berbahasa tersebut, khususnya keterampilan membaca dan menulis perlu terus dipelajari, dilatih, dan dibiasakan secara konsisten.
Bila seorang anak tidak mengalami pembudayaan dan pembiasaan membaca di rumah dan sekolah, maka kemampuan dan kebiasaan membacanya hampir dipastikan tidak akan berkembang. Tanpa adanya kemampuan membaca, kemampuan menulis seseorang tentu saja tidak akan tumbuh. Dengan demikian, kemampuan literasi harus menjadi jantung dari semua proses pendidikan mulai dari pendidikan prasekolah sampai ke perguruan tinggi.
Menurut Bambang Wisudo, salah seorang pegiat pedagogi dan literasi kritis, salah satu syarat utama untuk menjadikan literasi sebagai jantung dalam proses pendidikan  di sekolah adalah ketersediaan buku-buku di sekolah. Artinya membentuk budaya literasi siswa meniscayakan sekolah menyediakan buku-buku yang dapat diakses tidak hanya terbatas pada buku paket. Arus diakui bahwa buku paket masih mendominasi sekolah-sekolah di Indonesia. Banyak guru yang masih memosisikan buku paket sebagai kitab suci dan satu-satunya sumber pengetahuan yang harus dihafal oleh semua siswa. Mereka menyampaikan materi persis seperti apa yang tertera pada buku paket yang menjadi pegangannya.
Pembelajaran Literasi aktititasnya banyak berlangsung dilapangan artinya di luar kelas serta bisa jadi tidak melakukan pembelajaran tatap muka langsung antara pengajar dalam artian guru dengan siswa tidak harus bertemu langsung seperti biasa dilakukan selama ini dikelas. 
Contoh, melatih siswa menulis dengan cara membiasakan mereka membuat buku harian, yang ditulis dalam bentuk cerita. Mengenalkan mereka tentang berbagai macam profesi disekitar lingkungan siswa, disamping profesi guru, mungkin sekolah atau guru kelas bisa mengadakan atau memfasilitasi program sekolah tentang mengenalkan anak tentang berbagia macam profesi. Pihak sekolah bisa mengundang tokoh masyarakat sekitar yang status sebagai pekerja, sebut saja kepala desa, camat, polisi, TNI, bankir, pekerja tambang, kepala desa, camat dan masih banyak lagi. Tujuan untuk apa, supaya nanti orang yang kita undang ke sekolah bisa menjelasin tentang profesi dan aktiftas pekerjaan mereka, dengan harapan bisa memacu motivasi siswa terhadap cita-cita yang ada dalam impian siswa. Lantas timbul pertanyaan,kan materi mengenal profesi bisa di sajikan dalam bentuk pelajaran dikelas dengan sumber dari buku pelajaran? Pengenalan profesi disajikan dalam bentuk pelajaran di kelas dengan bersumber dari buku pelajaran, maka yang bisa di pahami dan dimengeri siswa bahwasanya tentara (TNI) itu adalah orang yang berseragam loreng dan bertugas berperang.
Kepala desa tugas nya hanya mengatur masyarakat desa, polisi tugasnya menangkap orang jahat dan sebagainya. Hal ini akan memperkecil ruang lingkup mererka memahami tentang profesi. Alangkah baik dan bijaknya jikalau sekolah bisa memfasilitasi program ini. Harapannya jikalau pembelajaran profesi ini disajikan secara literasi dengan berkunjung atau melihat langsung kelapangan, seperti profesi dokter, ke rumah sakit atau ruang praktek, tentara yang bertugas di markas, kunjungannya ke markas TNI, maka siswa dapat memperoleh begitu banyak pengetahuan dan pemahaman tentang profesi yang disajikan. Mulai dari tugas dokter, dan lain-lain.
Program literasi ini pun bisa membuat siswa senang, sebagai inovasi pembelajaran di kelas. Kalau pun pihak sekolah tidak mengajak siswa mengunjungi langsung lokasi pekerjaan dokter, TNI dan lain-lain, pihak sekolah bisa menghadirkan sosok-sosok tersebut di dalam kelas. Misalnya dengan program satu hari bersama dokter, satu hari bersama polisi atau TNI, dengan setting acara, selama hari itu, mereka-mereka yang menjadi guru di kelas. Inovasi-inovasi pembelajaran seperti ini bisa membuat suasana kelas menjadi menyenangkan. Seperti pernyataan sebelumnya kelasku surgaku.
Mengajari anak membaca buku-buku semacam itu tidak mudah membalikkan telapak tangan. Proses tersebut meniscayakan guru-guru mengerahkan tenaga, pikiran, kesabaran, dan tentu saja wawasan yang sangat luas. Kalau literasi semacam itu dijadikan jantung pembelajaran, maka beberap tahun ke depan, saya yakin budaya literasi di Indonesia akan betul-betul terbentuk. Tidak hanya terjadi pada siswa, tapi pada masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Jadi, bisa kita pahami bahwa program literasi membuat guru mampu menarik perhatian lebih dari para siswa untuk giat belajar. Serta perlu di ingat program literasi ini pun bisa di terapkan bersama orang tua dirumah. Sudah sewajarnya guru harus terus belajar bukan hanya mengajar saja dan tertantang pada saat ada kebutuhan untuk menampilkan kelas dan pembelajaran semenarik mungkin, kreatif dan penuh inovasi.

Tidak ada komentar:

PELIMA CERIA KUJANG

Di kelas, saya menghadapi peserta didik kelas tujuh yang tidak semangat dalam pembelajaran materi menulis dan menceritakan kembali cerita. K...