OLEH
:
RITMHA
CANDRA ARIESHA, S.Pd
GURU
SMP NEGERI 1 KEPAHIANG KABUPATEN KEPAHIANG
Rutinitas
menjadi guru yang tiap hari datang duduk, doa, absen, berceramah dikelas,
setiap hari tentu akan menjadi kebosanan dan kejenuhan. Kejenuhan yang bukan
hanya dihadapin oleh guru saja tapi kejenuhan dan kebosanan bisa dirasakan oleh
siswa. Hal ini akan menghambat proses kegiatan belajar mengajar
disekolah. Tentunya untuk menghilangi kebosanan dan kejenuhan, sang guru
harus di tuntut kreatif. Kreatif membuat suasana kelasnya menjadi “syurga”.
Banyak
cara yang bisa dilakukan untuk menghilangkan kejenuhan dan kebosanan selama di
kelas. Salah satu adalah kelas Literasi atau sekolah Literasi. Bahasa
sederhananya literasi adalah mengaitkan materi ajar dengan lingkungan sekitar.
Misalnya materi ajar yang selama ini di kelas disajikan, dengan konsep literasi
materi tersebut kita alihkan dengan melibatkan alam atau lingkungan sekitar.
Materi Matematika tentang diskon, kita ajak siswa datang mengunjungi minimarket
yang sedang mengadakan diskon perbelanjaan, fotosistesis pada pelajaran IPA,
kita ajak siswa melihat tanaman ke kebun, materi wawancara kita ajak siswa
kegiatan wawancara, dan masih banyak lagi. Namun perlu diingat antara
pembelajaran literasi dengan pembelajaran praktek kelapangan berbeda. Perbedaan
itu kita lihat dari cara penerapan dan perbadaan tujuan.
Negara Indonesia menempati
urutan bawah dalam literasi dunia. Hal ini disebabkan karena budaya literasi
masyarakatnya masih sangat rendah. Sejak 16 tahun silam, Indonesia telah ikut
dalam proyek penelitian dunia untuk mengukur literasi membaca, matematika dan
ilmu pengetahuan alam. Dari proyek penelitian dunia tersebut, terbukti memang
Indonesia merupakan negara yang kurang daya bacanya dalam literacy
purpose. Kebanyakan orang Indonesia membaca atas dasar information
purpose (Aulia, 2014). Literasi adalah kemampuan hidup (life skill). Oleh
karena itu, literasi merupakan kebutuhan hidup masyarakat maju. Tentu saja
rendahnya literasi seseorang menghambat kemajuan hidup suatu bangsa.
Peran literasi di dunia pendidikan juga sangat besar. Semakin
tinggi tingkat literasi pelajar maka akan semakin tinggi pula tingkat mutu
pendidikannya. Hal ini terlihat dari perbedaan siswa yang di dalam kelasnya
hanya mendapatkan pembelajaran lewat metode ceramah dengan siswa yang
mendapatkan pembelajaran melalui metode problem solving, diskusi atau praktik
langsung. Misalnya, ketika guru hanya mengajarkan apa itu pidato, seperti apa
susunan dan bagaimana teknik-teknik yang baik dalam berpidato melalui ceramah
saja tentu akan berbeda jika guru mengajak siswa mengalami langsung seperti apa
dan bagaimana berpidato di depan kelas. Literasi siswa yang dibimbing untuk
praktik langsung jauh lebih baik dibandingkan dengan siswa yang hanya
mendapatkan ilmu secara teoritis saja. Siswa yang praktik langsung mengalami
proses menyimak, membaca, menulis, berbicara dan berpikir kritis. Hal ini
sejalan dengan ungkapan Magnessen (dalam Silberman, 1996) bahwa “Kita belajar
10% dari apa yang kita baca, 20% dari apa yang kita dengar, 30% dari apa yang
kita lihat, 50% dari apa yang kita lihat dan dengar, 70% dari apa yang kita
katakan, 90% dari apa yang kita katakan dan lakukan.”
Literasi
pada dasarnya mengacu pada kemampuan membaca dan menulis. Kemampuan ini juga
tidak bisa dilepaskan dari kemampuan menyimak dan berbicara. Dengan demikian,
literasi identik dengan kemampuan menyeluruh keterampilan berbahasa yangterdiri
dari kemampuan mnyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Oleh karena itu
seorang dikatakan literate (terdidik) apabila ia menguasai keempat keterampilan
berbahasa. Dan keempat keterampilan berbahasa tersebut, khususnya keterampilan
membaca dan menulis perlu terus dipelajari, dilatih, dan dibiasakan secara
konsisten.
Bila
seorang anak tidak mengalami pembudayaan dan pembiasaan membaca di rumah dan
sekolah, maka kemampuan dan kebiasaan membacanya hampir dipastikan tidak akan
berkembang. Tanpa adanya kemampuan membaca, kemampuan menulis seseorang tentu
saja tidak akan tumbuh. Dengan demikian, kemampuan literasi harus menjadi
jantung dari semua proses pendidikan mulai dari pendidikan prasekolah sampai ke
perguruan tinggi.
Menurut
Bambang Wisudo, salah seorang pegiat pedagogi dan literasi kritis, salah satu
syarat utama untuk menjadikan literasi sebagai jantung dalam proses
pendidikan di sekolah adalah ketersediaan buku-buku di sekolah.
Artinya membentuk budaya literasi siswa meniscayakan sekolah menyediakan
buku-buku yang dapat diakses tidak hanya terbatas pada buku paket. Arus diakui
bahwa buku paket masih mendominasi sekolah-sekolah di Indonesia. Banyak guru
yang masih memosisikan buku paket sebagai kitab suci dan satu-satunya sumber
pengetahuan yang harus dihafal oleh semua siswa. Mereka menyampaikan materi
persis seperti apa yang tertera pada buku paket yang menjadi pegangannya.
Pembelajaran Literasi
aktititasnya banyak berlangsung dilapangan artinya di luar kelas serta bisa
jadi tidak melakukan pembelajaran tatap muka langsung antara pengajar dalam
artian guru dengan siswa tidak harus bertemu langsung seperti biasa dilakukan
selama ini dikelas.
Contoh,
melatih siswa menulis dengan cara membiasakan mereka membuat buku harian, yang
ditulis dalam bentuk cerita. Mengenalkan mereka tentang berbagai macam profesi
disekitar lingkungan siswa, disamping profesi guru, mungkin sekolah atau guru
kelas bisa mengadakan atau memfasilitasi program sekolah tentang mengenalkan
anak tentang berbagia macam profesi. Pihak sekolah bisa mengundang tokoh
masyarakat sekitar yang status sebagai pekerja, sebut saja kepala desa, camat,
polisi, TNI, bankir, pekerja tambang, kepala desa, camat dan masih banyak lagi.
Tujuan untuk apa, supaya nanti orang yang kita undang ke sekolah bisa
menjelasin tentang profesi dan aktiftas pekerjaan mereka, dengan harapan bisa
memacu motivasi siswa terhadap cita-cita yang ada dalam impian siswa. Lantas
timbul pertanyaan,kan materi mengenal profesi bisa di sajikan dalam bentuk
pelajaran dikelas dengan sumber dari buku pelajaran? Pengenalan profesi
disajikan dalam bentuk pelajaran di kelas dengan bersumber dari buku pelajaran,
maka yang bisa di pahami dan dimengeri siswa bahwasanya tentara (TNI) itu
adalah orang yang berseragam loreng dan bertugas berperang.
Kepala
desa tugas nya hanya mengatur masyarakat desa, polisi tugasnya menangkap orang
jahat dan sebagainya. Hal ini akan memperkecil ruang lingkup mererka memahami
tentang profesi. Alangkah baik dan bijaknya jikalau sekolah bisa memfasilitasi
program ini. Harapannya jikalau pembelajaran profesi ini disajikan secara
literasi dengan berkunjung atau melihat langsung kelapangan, seperti profesi
dokter, ke rumah sakit atau ruang praktek, tentara yang bertugas di markas,
kunjungannya ke markas TNI, maka siswa dapat memperoleh begitu banyak
pengetahuan dan pemahaman tentang profesi yang disajikan. Mulai dari tugas
dokter, dan lain-lain.
Program
literasi ini pun bisa membuat siswa senang, sebagai inovasi pembelajaran di
kelas. Kalau pun pihak sekolah tidak mengajak siswa mengunjungi langsung lokasi
pekerjaan dokter, TNI dan lain-lain, pihak sekolah bisa menghadirkan
sosok-sosok tersebut di dalam kelas. Misalnya dengan program satu hari bersama
dokter, satu hari bersama polisi atau TNI, dengan setting acara, selama hari
itu, mereka-mereka yang menjadi guru di kelas. Inovasi-inovasi pembelajaran
seperti ini bisa membuat suasana kelas menjadi menyenangkan. Seperti pernyataan
sebelumnya kelasku surgaku.
Mengajari
anak membaca buku-buku semacam itu tidak mudah membalikkan telapak tangan.
Proses tersebut meniscayakan guru-guru mengerahkan tenaga, pikiran, kesabaran,
dan tentu saja wawasan yang sangat luas. Kalau literasi semacam itu dijadikan
jantung pembelajaran, maka beberap tahun ke depan, saya yakin budaya literasi
di Indonesia akan betul-betul terbentuk.
Tidak hanya terjadi
pada siswa, tapi pada masyarakat Indonesia secara
keseluruhan. Jadi, bisa kita
pahami bahwa program literasi membuat guru mampu menarik perhatian lebih dari
para siswa untuk giat belajar. Serta perlu di ingat program literasi ini pun
bisa di terapkan bersama orang tua dirumah. Sudah sewajarnya guru harus terus
belajar bukan hanya mengajar saja dan tertantang pada saat ada kebutuhan untuk
menampilkan kelas dan pembelajaran semenarik mungkin, kreatif dan penuh
inovasi.